Pengantar
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan).
Dalam mencapai kualitas pribadi berpendidikan sebagaimana definsi pendidikan tersebut, tentu tak mudah bagi Pendidik mewujudkannya sejalan dengan peran dan fungsinya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Lima sampai enam hari dalam seminggu, selama kurang lebih delapan jam, Pendidik menghabiskan waktu bersama siswa dampingannya untuk menghasilkan pribadi cemerlang.
Tak mudah menekuni peran sebagai orangtua kedua, Pendidik pun tak luput dari cercaan dan ketidaksempurnaan kala siswa yang didampinginya tak mampu berhasil meraih prestasi akademis yang ditentukan. Apakah pendidikan hanya menyangkut hajat hidup seseorang secara akademis? Apakah pendidikan hanya sebagai bekal persiapan hidup bagi seseorang di masa depan? Jika pertanyaan ini dijawab ya, tentu hasilnya akan menunjukkan bahwa di masa yang akan datang, kita akan melihat orang-orang yang berpendidikan adalah mereka yang mampu bertahan hidup berkat pendidikan.Rumus ini tidak berlaku buat mereka yang sukses dalam hidup padahal mereka tidak mengenyam bangku pendidikan sampai tinggi. Lantas, bagaimana seyogyanya hakikat pendidikan tersebut? Pendidikan harusnya menjadi ‘Roh Hidup’ itu sendiri.
Menghidupkan spiritualitas pendidikan bukan perkara mudah bagi Pendidik yang bergelut dengan carut marutnya pendidikan. Tuntutan akademis melalui nilai-nilai ujian, persaingan antar sekolah dengan aneka fasilitasi yang ditawarkan, persoalan biaya pendidikan yang tak lagi terjangkau hingga kompetensi guru yang sepadan dengan ‘dunia barat’ yang dinilai memiliki pendidikan yang berkualitas. Dalam kesempatan ini, penghayatan diri sebagai tenaga pendidik lebih dari menjangkau arah dasar lembaga pendidikan, tetapi bagaimana menuangkan ide dan gagasan yang menawarkan solusi bersama bagi pendidikan berkualitas sejalan dengan visi misi yang diemban sekolah di masa kapitalisme pendidikan saat ini.
Satu, Pendidikan bukan proses meniru tetapi menciptakan
Kekhawatiran dan keprihatinan akan dampak buruk ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah banyak disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Fenomena ujian terstandar setiap tahun masih menjadi bumerang bagi siswa yang menjalani, guru yang mendidik, orangtua yang prihatin dan pemerhati pendidikan lainnya. Bukan tidak mungkin ujian yang bertujuan untuk melihat kualitas pendidikan selama satu tahun ajaran pendidikan disalahgunakan sebagai penentu kualitas pribadi seseorang dalam hitungan hari. Tidak adil rasanya!
Lebih banyak hasil evaluasi siswa adalah proses meniru, bukan menciptakan. Sementara Pendidik dituntut untuk kreatif dan produktif dalam mengembangkan metode pembelajaran. Kenyataannya, siswa masih diajarkan untuk menjawab pertanyaan dengan meniru. Siswa dibatasi oleh pilihan. Siswa tidak mampu menyatakan opini sebagai bentuk penguasaan dirinya terhadap hal yang telah diajarkannya. Apa yang terjadi kemudian pribadi yang berkualitas meniru yang muncul di hadapan publik. Seseorang bertahan hidup hanya dengan meniru. Keberhasilan yang terjadi juga karena meniru yang telah ada.
Kehadiran pendidik diharapkan bukan menjadi peniru dari keberhasilan pendidikan yang telah ada sebelumnya namun bagaimana menciptakan pembelajaran yang inovatif sesuai dengan tantangan yang dihadapi ke depan. Bukan tidak mungkin, guru menggunakan media teknologi untuk mengajarkan kompetensi kepada siswa dampingannya. Atau, guru meminta siswa menciptakan media pembelajaran dari sarana yang tersedia di sekitarnya. Siswa diajak untuk menemukan solusi pembelajaran dari lingkungan sekitarnya. Siswa lebih aktif untuk diasah bagaimana membuat sesuatu yang belum ada ketimbang menuliskan sesuatu yang telah ada.
Perilaku mencipta kelak bukan sekedar menjadi kebetulan tercipta tetapi menjadi kebiasaan yang dilakukan dalam interaksi siswa yang didampingi dan pendidik. Sebagaimana kisah berikutnya,
“Seorang pelaut tua berhenti merokok ketika burung beo kesayangannya menderita batuk menahun. Ia khawatir jangan-jangan asap pipa yang sering kali memenuhi kamarnya merusak kesehatan burung beo itu. Ia memanggil seorang dokter hewan untuk memeriksa burung itu. Sesudah pemeriksaan yang teliti, dokter itu menyimpulkan bahwa burung itu tidak menderita psitakosis atau pun pneumonia. Burung itu hanya menirukan batuk tuannya si pengisap pipa itu.”
Kedua, Pendidikan mampu menerapkan nilai-nilai kehidupan
Perilaku seseorang yang terbentuk terpancar karena nilai-nilai kehidupan yang diembannya. Nilai-nilai kehidupan yang diperoleh dalam hidup seseorang, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan anak seutuhnya terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif, fisik dan moral yang dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Diharapkan, sekolah sebagai institusi pendidikan mampu membentuk seseorang dalam menerapkan nilai-nilai luhur kehidupan yang mencerminkan kejujuran.
Siswa dampingan menyadari betul bahwa nilai 3 lebih berarti daripada nilai 9 yang diperolehnya dengan mencontek atau bertindak curang. Nilai 3 yang diperoleh siswa, mampu mengajarkan sikap kelegaan hati (legowo) dan kejujuran serta daya juang untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di lain waktu ketimbang nilai ketidakadilan. Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau “murid”) di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. (www.wikipedia.com).
Di sekolah, selama kurang lebih 8 jam, siswa dampingan menyadari betul pentingnya nilai-nilai kehidupan diterapkan ketimbang menghafal nilai-nilai kehidupan yang belum tentu diterapkan. Banyak lembaga pendidikan menawarkan keunggulan pribadi seseorang berdasarkan prestasi gemilang dan melupakan pretasi gemilang yang sebaiknya diiringi oleh nilai kehidupan yang cemerlang. Lembaga pendidikan layaknya sekolah, melupakan perannya untuk ‘mendidik hati setiap hati’ agar mampu menumbuhkan pretasi yang membanggakan nilai-nilai kehidupan.
Di tengah himpitan persaingan sekolah-sekolah bermutu dengan sarana pembelajaran modern, sekolah lupa bahwa ‘mendidik hati’ diperlukan ‘hati’ bukan sarana canggih yang belum tentu berpeluang terhadap nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, peran pendidik sebagai agen perubahan dalam sekolah diharapkan mampu membentuk siswa agar nilai-nilai kehidupan yang akan diterapkannya di masyarakat dapat dipertanggungjawabkan kepada sesama dan Tuhan.
Bahwa ukuran objektif dari sebuah pendidikan tidak lagi dari nilai evaluasi yang diperoleh tetapi bagaimana siswa dampingan mampu menghadapi nilai evaluasi agar dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Jika ‘hati’ mampu berbicara dengan ‘hati’ tentu pendidikan berkualitas yang membangun spritualitas tercermin di masa yang akan datang.
Ketiga, Pendidikan yang mendorong Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri dimaknai sebagai kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa. Menurut teori Maslow tentang hirarki kebutuhan, aktualisasi diri dianggap sebagai tingkatan tertinggi dari perkembangan psikologis yang bisa dicapai bila semua kebutuhan dasar sudah dipenuhi dan pengaktualisasian seluruh potensi dirinya mulai dilakukan.
Tak mudah bagi seseorang dalam mencapai aktualisasi diri, namun lewat Pendidikan, seseorang dimampukan untuk menunjukkan potensi terbaiknya. Perilaku seseorang terbentuk dalam landasan apa yang telah diajarkannya melalui lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Guru mengajarkan bagaimana mendapatkan nilai terbaik dari sebuah evaluasi kompetensi mata pelajaran. Siswa mampu mengaktualisasikan dirinya dalam evaluasi tersebut melalui penguasaan kompetensi terbaik. Siswa menemukan cara untuk menggali potensi yang ada dalam dirinya. Siswa mampu mengenali apa yang menjadi kesukaran dan kelemahannya dalam menguasai kompetensi tersebut. Siswa bekerjasama dengan siswa lain untuk berbagi penguasaan kompetensi.
Aktualisasi diri tumbuh dari keyakinan seseorang bahwa ia mampu mengenali apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam dirinya. Pendidikan memampukan seseorang untuk menjawab dan menyadari siapa dirinya. Orang yang berpendidikan, sadar bagaimana ia dapat memecahkan sebuah persoalan lebih cermat dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan.
Aktualisasi diri lebih dari sekedar kebutuhan dasar, yang diyakini akan terbentuk sejak dini lewat pendidikan. Disinilah, pendidikan menawarkan sebuah metode untuk mendorong aktualisasi diri setiap siswa yang didampinginya. Jika setiap lembaga pendidikan seperti sekolah, hanya menawarkan aktualisasi potensi siswa dampingan lewat prestasi maka pendidikan yang unik adalah lembaga yang menawarkan metode agar setiap siswa mampu mewujudkan aktualisasi dirinya.
Pendidikan tidak lagi menjadi bumerang bagi siswa kelak, karena mereka telah mengetahui apa yang menjadi kekuatan dan kelemahannya, sehingga di masa yang akan datang mereka menemukan solusi kehidupan lebih dari sekedar nilai akademis belaka. Landasan Berperilaku Pendidikan dijadikan landasan berperilaku bagi seseorang adalah norma yang selama ini ditentukan oleh masyarakat. Segala tindak tanduk seseorang terlihat dari bagaimana pendidikan membentuk karakter seseorang.
Sayangnya, pendidikan kita masih banyak mendikte perilaku seseorang bukan menggali perilaku seseorang. Pendidikan memampukan seseorang untuk mengenali dirinya yang menjadi dasar bagaimana harus berperilaku dalam kondisi tertentu.
Pendidikan punya nilai khas dan unik lebih dari sekedar budaya masyarakat yang tidak tertulis. Pendidikan mengajarkan bagaimana seseorang mengendalikan dirinya lebih dari sekedar orang yang tidak berpendidikan, yang cenderung mudah terpengaruh, misalnya. Landasan berperilaku yang ditawarkan lembaga pendidikan, semisal sekolah, tentu terletak dari apa yang ditawarkan sekolah dalam visi dan misi yang diembannya. Namun, tak jarang, visi dan misi hanya sekedar hiasan pelengkap administratif sekolah. Tak jarang, sekolah kesulitan dalam menjabarkan program-program kerja sebagaimana yang tertuang dalam visi dan misi. Tak jarang, sekolah mengejar keuntungan semata dan melupakan visi dan misi mulia yang dimilikinya. Pada akhirnya, tak jarang, sekolah yang dijadikan sarana perwujudan akhlak mulia dijadikan ‘kedok bisnis’ untuk mengeruk gengsi dan kompetensi antar pendidikan. Bagaimana sekolah mampu mewujudkan landasan berperilaku bagi siswa yang didampinginya, jika sekolah tidak memiliki visi dan misi yang objektif dan terukur? Padahal visi dan misi sekolah menentukan bagaimana siswa yang didampinginya kelak adalah cerminan pendidikan yang dibentuk sekolah selama ini.
Jika seseorang berpendidikan dilandasi oleh perilaku yang dikehendaki dalam masyarakat, tentu sekolah dengan visi dan misinya, niscaya tergambar dari kebutuhan dan tantangan yang akan dihadapi seseorang di masa yang akan datang. Landasan berperilaku seseorang berpendidikan, tentu menjadi hal yang khas dan unik, karena sekolah sebagai lembaga pendidikan, telah berhasil menggali potensi keunggulan dari setiap pribadi siswa yang didampinginya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hendaknya mampu mendorong perilaku kekhasan yang diunggulkan dalam masyarakat, dengan tidak mengurangi nilai-nilai kehidupan yang menjiwai pendidikan. Salah satunya adalah perilaku spiritualitas religiusitas yang tidak fanatik namun menghargai perbedaan yang ada.
Nilai-nilai yang dianut sekolah diharapkan adalah landasan siswa dampingan dalam berperilaku keseharian. Karena, di usia tersebut, seorang anak dibentuk jati dirinya.
Penutup
Berawal dari niat baik sekolah sebagai lembaga pendidikan untuk melaksanakan nilai-nilai luhur dalam pribadi setiap siswa yang didampinginya, maka sekolah diharapkan berhasil mencetak siswa berprestasi cemerlang dan perilaku gemilang yang dibanggakan.
Dalam menghadapi tantangan kapitalisme pendidikan, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dipercaya menawarkan solusi pembelajaran yang kreatif dan inovatif tanpa kehilangan makna jaman masa kini. Sekolah memiliki agen-agen perubahan dalam diri setiap pendidik, yang tidak dimiliki oleh sekolah lain. Sekolah menjadi sarana yang jitu untuk membentuk perilaku seseorang sejalan dengan visi dan misi yang diembannya.
Sejatinya, Pendidikan yang melandasari perilaku seseorang bukanlah sekedar wacana belaka namun dilaksanakan dengan nilai-nilai luhur sekolah agar tercipta kualitas pribadi yang dikehendaki bersama di masa yang akan datang. Semoga!
Artikel yang menarik bu. Sukses buat pendidikan kita.
LikeLike