CERPEN (12): Meramal Lewat Secangkir Kopi, Anda Percaya?

Rupanya tak puas sekedar minum kopi saja, kali ini teman baik saya ini mengajak minum kopi lagi. Aduh, rasanya tak puas abang satu ini berbicara soal kehidupan dengan saya. Dia ingin ajak saya untuk pergi minum kopi. “Baiklah Bang, kita ketemu di kedai kopi biasa” tuturku menjawab ajakannya lewat telpon.

“Kita bertemu sore ya, An. Kaffetrinke. Ada yang mau aku tunjukkan padamu. Aku yakin kamu suka” sahutnya dengan gembira setelah aku merespon undangan minum kopi sore hari.

Meski saya bukan penikmat kopi, tetapi saya menikmati kebersamaan bersama teman saya yang hobi minum kopi ini. Pantas saja, kedai kopi selalu dipenuhi orang-orang yang berbincang soal kehidupan, pekerjaan, politik, ekonomi dan macam-macam lainnya. Memang bukan soal rasa kopi tetapi rasa obrolan yang ditawarkan lebih dari secangkir kopi.

Rupanya saya datang terlambat karena saya salah turun di stasiun terdekat. Saya berjalan kaki cukup jauh menuju kedai kopi itu. Terlihat abang sudah duduk bersama pria tua di pojok kedai kopi dengan satu bangku kosong di hadapan mereka. Sepertinya mereka sengaja menyediakan bangku itu untukku. Tetapi siapa pria di sebelah abang itu, batinku dalam hati.

“Maaf, saya datang terlambat. Saya salah turun stasiun. Tahu sendiri ‘kan di Jerman, semua serba tertib. Lagipula salju turun lumayan lebat juga, membuat saya kesulitan jalan ke sini. Hallo Bang, apa kabar?” sapaku sambil beralasan soal keterlambatan kereta.

“Baik An. Perkenalkan ini teman Abang. Dia orang Indonesia juga. Sudah lama tinggal di Jerman juga. Dia mampir ke sini karena lagi ada tugas di kota ini.”

Saya pun menyapa “hallo” sambil menjabat tangannya.

“Saya biasa dipanggil Zimmermann. Panggil saja begitu, Anna” sahut Zimmerman. Teman-teman Zimmermann menyebutnya begitu karena Zimmer dalam bahasa Jerman berarti kamar. Zimmerman suka sekali menyendiri di kamarnya. Ada pula alasan disebut Zimmermann karena ia bekerja di perusahaan kayu. Ah, entahlah.

“Aku sudah memilihkan pesanan kopi untukmu juga seperti biasa. Zimmermann ini punya keahlian khusus. Aku yakin kamu pasti suka, An” sahut abang memperkenalkan Zimmermann padaku.

Zimmermann adalah pria paruh baya dengan usia yang tak jauh dari abang. Ia sudah lama tinggal di Jerman dan bekerja di perusahaan kayu. Entah bagaimana abang berkenalan dengan Zimmermann tetapi mereka cukup akrab. Mereka beberapa kali bercerita tentang kawan-kawan mereka, kadang Zimmermann kenal dengan nama yang disebut abang, kadang pula Zimmermann tidak mengenal nama yang disebut.

Keahlian yang disebut abang adalah keahlian meramal masa depan dengan hanya meminum kopi. Menarik kan? Pantas abang ajak aku bertemu dengan Zimmerman. Abang tahu bahwa kadang aku selalu ingin tahu soal masa depan, tak sabar menanti waktu tiba. Namun meramal hanya lewat kopi, itu yang membuatku bertahan di kedai kopi itu hingga berlama-lama menemani teman baikku ini.

“Anna, jangan paksa Zimmermann dengan pertanyaan-pertanyaan sintingmu soal masa depan. Meramal itu natural. Jika meramal itu dipaksa namanya dukun. Zimmermann bukan dukun. Ia hanya mencoba mendapatkan inspirasi soal cara minum kopi.”

“Baiklah, Bang. Aku hanya terkesan dengan keahlian Zimmermann. Aku tak terlalu tertarik soal ramalan, tetapi bagaimana secangkir kopi dapat meramal masa depan, itu membuatku menarik.”

Aku meminum kopi sampai habis sambil mendengarkan obrolan mereka berdua soal berbagai topik. Kadang ada hal lucu, kami tertawa. Kadang ada hal yang tak saya mengerti, saya pun diam saja. Saya sedang menunggu sampai insting Zimmermann datang untuk membuat ramalan tentang saya.

“Dengar Anna! Saya melihat kamu sebagai pejuang impian. Kamu orang yang tidak mudah menyerah dengan keadaan. Kamu akan mendapatkan impianmu, tetapi…” secara tiba-tiba Zimmermann berbicara kepada saya tentang diri saya tanpa saya memintanya. Ia hanya menebak dari cara saya menikmati kopi dan ampas kopi yang saya minum. Ampas kopi itu dituangnya di piring kecil alas cangkir. Bagi saya, ampas kopi itu hanyalah ampas. Bagi Zimmermann, ampas kopi itu bisa memberikan arti tersendiri.

Sore itu secara mengejutkan saya bertemu dengan Zimmermann yang mampu menggambarkan saya dan impian saya, meski tidak spesifik. Saya tidak mengenalnya tetapi saya seperti larut dengan imajinasinya. Saya tertarik dengan celotehannya.

“Teruslah berjuang untuk mimpimu, Anna” kata Zimmermann sekali lagi menutup visualisasinya tentang saya.

“Sebagian ada yang benar, sebagian ada yang tidak. Saya berterimakasih sudah dibantu, Zimmermann. Saya memang sedang memperjuangkan impian saya. Hanya saja bahwa memperjuangkan impian itu tak mudah. Mustahil.”

“Anna, orangtua saya bilang tidak ada mimpi yang terlalu besar. Tidak ada pula pemimpi yang terlalu kecil. Jadi tetaplah berjuang.”

“Abang tahu kau rajin berdoa. Teruslah berdoa karena itulah kekuatanmu” sahut abang menambahkan.

Secangkir kopi di sore hari memberikan arti dan kehangatan kala salju turun di luar kedai kopi. Setangkup harapan diperdengarkan kembali dari Zimmermann dan teman baikku ini, bahwa segalanya itu mungkin bagi mereka yang percaya dan terus berjuang.

Usai dari kedai kopi, abang mengantarku pulang dengan mobilnya. Kami meninggalkan Zimmermann di stasiun terdekat menuju hauptbahnhof München setelahnya ia kembali ke kotanya.

“Anna anggaplah kamu adalah kapal yang kokoh. Meski terbuat dari kayu, pikirkanlah bahwa kapalmu tetap bisa berlayar meski badai, topan dan angin menerjang. Ingatlah bahwa kamu bisa berlayar menuju pantai harapan yang menjadi impianmu! Jangan takut! Tetaplah berdoa. Kembangkan layarmu dan teruslah pergi sampai kemana angin membawamu. Aku yakin, kapalmu tak pernah tenggelam karena Tuhan besertamu. Berlayarlah menuju pantai impianmu. Kadang maju kadang mundur, tetapi jangan pernah biarkan kapalmu terhenti.”

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s