Kala sore rintik di Jakarta, kami bertemu. Saya dan seorang teman lama janjian bertemu di sebuah kedai kopi ternama. Ia mengenakan tampilan kasual yang berbeda dari sebelumnya saya kenal 5 tahun lalu saat masih bersama di kantor dulu.
“Apa kabar, Pak? Lama tak bersua.”, sapaku padanya yang terkesan elegan dengan penampilannya. Ia meraih tanganku dengan sesungging senyum hendak berkata bahwa semua baik-baik saja dengan dirinya.
Kami memesan kopi dan dua paket kudapan selera kami masing-masing. Mengawali pembicaraan dengan topik seputar rekan kerja yang kami kenal dan segudang cerita konyol tentang mereka. Hingga kami menyepakati topik yang berat seperti biasa kala kami bersama sebagai rekan kerja, kesuksesan.
“Aku dengar kau sudah sukses sekarang, Bu. Bagaimana bisa sesukses sekarang?”, tanyanya penuh selidik.
“Hey, kau juga sukses sekarang Pak. Sudah punya mobil. Sudah punya rumah. Sudah punya pekerjaan mapan. Apa lagi yang kau kurang sekarang?”, kelakarku kembali sambil tertawa.
“Kata siapa aku sukses, Bu Anna?”
Ini adalah awal tahun yang kebanyakan orang mulai menyusun strategi untuk mencapai impian mereka yang dianggap tertunda atau belum terlaksana di masa lalu.
“Apakah sukses menurut siapa atau apa?”, lontarku sekali lagi semakin menambah berat diskusi di antara kami. “Jika sukses selalu dipandang dari sudut ‘siapa’ maka orang akan melihat apa yang telah kita lakukan. Akan lebih dilihat dari apa yang telah kau punyai, Pak.”
“Dari dulu Bu Anna memang tak pernah berubah. Menjadi perempuan yang ‘berat’ tetapi asyik untuk diajak diskusi soal kehidupan.”
Kami berdua pun tertawa.
Ada banyak orang yang selalu mengukur kesuksesan dari rumus “Sukses menurut siapa” sehingga selalu berusaha mengejar opini kebanyakan orang tentang arti kesuksesan. Sukses di mata orang lain belum tentu sukses buat diri sendiri. Begitu pun sebaliknya. Jika bagi orang lain kita belum sukses tetapi bagi diri sendiri bisa jadi kita sudah sukses.
“Kadang diri sendiri mengukur kesuksesan dari apa yang kita mampu kerjakan. Itu wajar, Pak.”
“Bagi saya, kesuksesan adalah kita mampu mengerjakan melebihi kemampuan. Jika hasil dari kesuksesan adalah benda-benda material, itu hanya pelengkap saja, Bu Anna. Karena saya mampu mengerjakan melebihi sebelumnya maka saya naik pangkat, gaji bertambah. Dari situ saya dapat fasilitas, misalnya jadi punya rumah dan mobil. Anggaplah itu bonus kesuksesan. Sementara kebanyakan orang menganggap saya sukses karena mobil dan rumah. Padahal menurut saya sukses jika saya sudah punya isteri cantik, pandai dan anak-anak yang sehat.”, jawab teman lamaku ini sekali lagi menegaskan arti kesuksesan menurut “siapa” atau “apa”.
Kami pun tertawa bersama-sama lagi.
Kesuksesan tidak ditentukan dari ‘siapa yang mengatakan’ atau ‘apa yang menentukan’ tetapi bagaimana kita mampu menilai diri kita sendiri untuk meraih impian yang kita cita-citakan. Kadang untuk meraihnya, tidak harus berjalan ‘lurus dan mulus’ tetapi penuh rintangan untuk mengukur kemampuan kita. Jika kita mampu melewatinya, itu artinya kita mampu melakukan melebihi kemampuan kita.
Sekali lagi, teman lamaku ini menutup obrolan kopi sore hari dengan kalimat begini, “Setiap orang bisa sukses. Hanya saja kadang mereka tidak tahu bagaimana mengukur kemampuan mereka. Mereka terlalu mengikuti sukses menurut perkataan orang atau sukses menurut kriteria orang lain. Setiap orang punya cara tersendiri meraih sukses. Seperti yang sering dikatakan Bu Anna, setiap orang itu unik.”
Selamat menyusun strategi di awal tahun 2015! Viel Glück!