(Sumber foto: Dokumen pribadi)
Sudah lama tak berjumpa dengan abang, sahabat baikku ini. Kami pun bertemu saat saya dan suami sedang berada di Singapura, sementara abang hanya mampir sebentar. Saya tinggalkan suami yang sedang bertemu dengan teman sesama Jerman dan menjumpai abang di restoran Jerman di sekitar Orchad Road.
“Wie geht’s Dir, Anna?”, sapa abang. Takjub saat ia berbahasa Jerman kala berada di luar Deutschland.
“Danke. Mir geht’s super. Und Du?”, sahutku sambil cipika cipiki ala orang München.
“Alles gut, Anna.”
“Tumben abang ajak aku minum bir, bukan kopi.”, tanyaku penuh selidik.
“Ich vermisse Deutschland, Anna.” Kami pun berdua tertawa.
Abang memesan bir sementara aku merindukan Bretzel, roti bertabur garam kesukaanku.
“Apa rencanamu selanjutnya, Anna?”
Berat bagi setiap orang untuk menghadapi perubahan dalam hidup. Siapa sangka bahwa semua berubah begitu cepat. Siapa sangka bahwa rencana tak semulus kenyataan. Tak ada yang bisa menduga kapan perubahan itu terjadi. Kesiapan menghadapi perubahan seharusnya diiringi juga kesiapan mendengarkan opini orang lain.
“Keine Ahnung.”, jawabku tidak tahu.
“Dengar Anna. Der Mensch denkt, Gott lenkt. Verstehest Du?”
“Bang, ini Asia. Bukan Jerman. Orang selalu ingin tahu urusan orang lain. Mengapa begini? Mengapa begitu? Mereka tak tahu bahwa semua ada alasan dibalik perubahan hidup.”
“Das ist nicht mein Bier! What others think of me is not my bussiness. Jangan dengarkan orang lain berbicara tentang perubahan hidupmu! Sebenarnya yang kau takuti adalah opini orang lain, bukan perubahan hidup itu sendiri.”
Gayanya yang lugas dan apa adanya membuatku terkagum-kagum pada sahabat baikku ini. Ia pun meminum bir di hadapannya sedikit demi sedikit sambil mengamati orang lalu lalang di sekitar restoran kami. Bir ukuran satu liter, kini tinggal setengahnya. Luar biasa!
“Kamu tahu ‘kan filosofi orang jerman tentang ‘Das ist nicht mein Bier’?”
Aku pun mengangguk tanda mengerti.
Dalam hidup ada kalanya perubahan dimulai dari kejadian terburuk untuk membentuk pribadi yang terbaik.
“Tak semua orang memahami perubahan yang terjadi dalam hidupmu karena mereka tak mengetahui alasanmu. Kau tak perlu membuktikan kepada semua orang tentang alasan perubahan hidup. Buktikan kepada diri sendiri bahwa kamu mampu menghadapi perubahan.”
Aku tertegun sejenak tentang kata-katanya yang bijaksana.
“Jadi kalau mereka bilang kamu begini. Kamu begitu. Ambil bir kayak gini dan bilang ‘Das ist nicht mein Bier’.” Kata abang sekali lagi sambil mengangkat bir dan mempraktekkannya di hadapanku.
Aku pun merenungkan beberapa saat sambil menghabiskan Bretzel, roti kesukaanku.
“Fertig, Anna?”, tanyanya padaku mengakhiri pembicaraan. Aku mengangguk sambil ia menepuk bahuku untuk meyakinkanku.
Aku menghabiskan minumanku. Abang sudah terlebih dulu menghabiskan birnya.
Kami berpisah di stasiun MRT Orchad Road. Abang naik MRT menuju Changi Airport sementara aku masih menunggu suamiku.
Perubahan dalam hidup tidak serta merta membuat orang siap menghadapinya. Terkadang mereka juga tak siap menghadapi komentar orang lain. Menghadapi perubahan hidup bukan berarti bebas komentar dari orang lain. Suka atau tidak sebagai makhluk sosial kerap kita masih diberi komentar-komentar baik positif maupun negatif. Dan mereka adalah bagian yang tak luput dari perubahan.