Saya mendapatkan tugas berkunjung ke Papua untuk satu bulan. Kebayang ini bukan tugas yang mudah di wilayah paling timur Indonesia yang memakan waktu penerbangan lima sampai enam jam dari Jakarta, dengan perbedaan waktu dua jam lebih cepat dari Jakarta. Jika dibandingkan perbedaan waktu ini ibarat seperti saat berada di Seoul, dimana perbedaan waktunya juga dua jam lebih cepat dibandingkan Jakarta.

Usai tiba di Bandara Sentani setelah terbang dari Papua Barat, saya dijemput seorang Sopir asal Makassar yang sudah menetap dan bekerja lama di Papua. Ia menawarkan kepada saya untuk refreshing sebentar agar tidak jenuh selama bertugas satu bulan di Papua ini. Saya pikir ini merupakan ide yang bagus. Saya pun menyetujui idenya untuk berkunjung sebentar ke Papua New Guinea. Ingat, ini bukan wisata seperti layaknya jika saya berkunjung ke negara lain, tetapi hanya penasaran. Tidak ada persiapan dan niat untuk berwisata ke negara Papua New Guinea. Saya jadi ingat, guru bahasa Jerman saya yang saya kenal di München, mungkin sekarang beliau sudah pindah ke Rusia. Deutschlehrerin saya ini berkata bahwa ia ingin sekali bisa berkunjung ke Papua New Guinea sewaktu saya dalam kelas Kursus menjelaskan letak Indonesia.

Rupanya sopir yang membawa saya menuju perbatasan Papua-Papua New Guinea tahu betul medan yang kami lalui, bahkan ia tahu trik bagaimana berhadapan dengan Petugas Penjaga Pintu Perbatasan. Jalur yang kami lalui cukup panjang dan berliku-liku. Jalanannya mulus dengan aspal dan kondisi yang terawat baik. Setibanya di perbatasan, saya memperhatikan lalu lalang penduduk setempat yang kebanyakan berdagang di kedua wilayah tersebut. Tak jauh dari Pos Polisi Perbatasan Skouw, Sektor Kota Muara Tami terdapat gapura besar sebagai penanda pintu perbatasan, bahwa anda memasuki wilayah Papua New Guinea.

Saya mencoba memberanikan diri, bertanya kepada pedagang di situ dalam bahasa Indonesia, tentang barang dagangan yang sedang ia siapkan. Ia menjual daging domba dengan harga 4 Kina. Oh ya, mata uang yang dipakai bangsa Papua New Guinea adalah Kina. Kata si Penjual, 1 Kina dihargai 3 sampai 4 ribu rupiah. Saya jadi tertarik ingin mencoba daging domba yang sedang dipanggang itu. Lumayan juga rasanya. Saya tidak bisa berbicara banyak dengan si Penjual karena sepertinya juga enggan menjawab beberapa pertanyaan saya. Jika dilihat karakteristik fisik masyarakat Papua New Guinea Perbatasan tak ubahnya seperti penduduk lokal Papua kebanyakan.

Di area perbatasan juga ditemukan Papan Informasi semacam reklame besar tentang HIV & AIDS tanpa saya pahami kalimatnya. Sepertinya ditulis dalam bahasa lokal. Rupanya informasi yang benar tentang HIV & AIDS juga perlu dikampanyekan di Papua New Guinea, alias tidak hanya di Papua saja. Selain itu ada tower yang tinggi menjulang, mungkin sebagai menara pengawasan. Tidak ada informasi yang bisa ditanyakan di wilayah perbatasan. Tak jauh dari area perbatasan, terdapat pasar yang menjual berbagai kebutuhan bahan pokok dan juga sovenir. Rata-rata penjual di sini hanya menerima uang Kina, bukan rupiah. Saya dapatkan uang Kina dari Penjual daging domba tadi sebagai uang kembalian saat saya membayar dalam rupiah.
Tips dari saya, gunakan jasa sewa mobil dengan sopir lokal yang sudah terbiasa berpergian ke perbatasan Papua-Papua New Guinea. Sebaiknya tanyakan dahulu juga kepada penduduk setempat mengenai situasi keamanan di sana, apakah cukup aman jika berkunjung ke wilayah perbatasan tersebut.