Sebuah seminar diadakan oleh seorang dosen bijak tentang materi awal perkuliahan. Dosen senior dengan rambut putih dan kacamata nyentriknya menyentak mahasiswa yang berjumlah dua puluhan kala itu. Jika mendengar namanya saja, seluruh penghuni kampus tahu bahwa ia adalah dosen yang lebih banyak mengajarkan kehidupan dibandingkan keilmuan.
Terkagum mahasiswa padanya, suatu kali ia mengawali kuliahnya dengan berkata, “Kebanyakan sekolah mendidik kita untuk mempersiapkan ujian sekolah, bukan ujian kehidupan. Pada praktiknya, kita belajar mempersiapkan masa depan bukan hanya nilai akademis saja.”
Suaranya yang terpatah-patah karena usianya yang sudah renta, tak menyurutkan semangat mahasiswa untuk mengambil mata kuliahnya. Aku pun menjadi bagian dari mahasiswa yang tertarik dengan gaya dan kepiawaiannya itu.
Di hari pertama kuliah, ia membawakan kami segelas air putih. Ditaruhnya gelas itu di atas meja, di tengah podium dan di hadapan kami semua. Semua mahasiswa bisa melihatnya. Ia pun mulai melihat ke sekililing kelas, satu per satu dipandanginya seluruh mahasiswa.
“Apa yang kalian lihat di atas meja ini?”tanyanya pada seluruh mahasiswa.
Ia menatap pria berbaju kotak-kotak putih hijau. Pria yang merasa ditunjuk pun seperti siap menjawab.
” Segelas air putih, Prof” kata pria itu.
Dosen itu hanya termangut-mangut dan mencari lagi mahasiswa lain untuk menjawab.
Gadis yang duduk di pinggir dan berambut pirang pun langsung menyahut lantang, “Segelas air putih penuh.”
Kembali dosen tampak termangut-mangut memahami gadis pirang tersebut. Seorang pria berkacamata dan bertubuh tambun, seperti terlihat dari India pun segera mengacungkan jari.
“Prof, menurut saya adalah gelas kosong. Tidak penuh.”
Lagi-lagi dosen bijak itu termangut-mangut mendengar jawaban tersebut. Dosen tua itu segera mengambil teko berisi air putih dan menuangkan ke dalam gelas. Air putih memenuhi gelas dan luber hingga ke meja.
***
Ini yang bisa aku petik dari awal kuliah itu. Jika kamu menganggap di awal adalah gelas penuh maka kamu akan sulit menerima, karena kamu sudah merasa cukup. Kamu bisa jadi sombong, merasa ahli dan mampu sehingga jika ada ilmu baru yang datang maka kamu sulit menerima. Padahal apa yang ada padamu hanya setengahnya saja, tidak utuh atau tidak penuh.
Bayangkan bahwa kamu bisa menjadi seperti gelas kosong yang siap menerima apa pun yang mengisi dirimu dengan ilmu. Meski kamu sudah terisi namun tidak penuh, tetapi kamu masih merasa perlu untuk ditambahkan padamu.
Belajarlah rendah hati meski kita sudah merasa berisi (setengah gelas air). Dengan demikian kita selalu menyadari untuk menerima ilmu yang datang. Sekecil apa pun yang ada, kehidupan ini adalah suatu pelajaran berharga dan bermakna. Meski itu salah, gagal, rusak dan tak berguna, semua itu akan mengarahkan pada kebenaran. Bukankah untuk menemukan kebenaran berawal dari kesalahan? Bukankah untuk menemukan keberhasilan harus melewati kegagalan?
Biarkan gelasmu setengah kosong…