Cinta tidak memandang sekat jarak, bahasa, budaya bahkan ras. Jika saya traveling, saya bertemu dengan banyak pasangan campur beda budaya. Kini setelah sekian lama mengembara (curhat colongan), akhirnya saya menikah dengan suami yang berbeda budayanya. West meets east. Saya Asia dan dia Eropa. Saya Indonesia dan dia Jerman. Tentang keputusan menikah dengan warga negara asing (WNA) dapat dilihat di sini.
So, berdasarkan pengalaman tersebut, berikut pengalaman saya mengenai hal-hal yang menguntungkan dengan pernikahan campur beda budaya setelah menginjak usia pernikahan hampir tiga tahun. Silahkan disimak!
1. Dapat pencerahan budaya baru
Siapa sangka jodoh saya berasal dari orang yang berbeda budaya? Awalnya saya dengar lagu berbahasa Jerman. Lama kelamaan suka dengan kualitas produk negara ini. Lalu jatuh cinta dengan budayanya. Jadi sebelum ketemu suami saya, saya sudah belajar dulu tentang budaya Jerman. Datang ke perpustakaan Goethe di Jakarta. Nonton festival film berbahasa Jerman. Semuanya mencerahkan saya tentang budaya yang berbeda. Misalnya budaya disiplin waktu yang tertib dan terencana.
Kejadian konyol yang pernah saya lakukan di Jerman misalnya dituliskan di artikel ini. Intinya, saya tidak boleh ‘seenak udel’ ubah tujuan kereta seperti di Jakarta, tujuan mau ke stasiun Depok, naik dulu ke stasiun Tanah Abang agar dapat duduk. Satu hal yang saya suka juga budaya menghormati privasi orang begitu tinggi.
Intinya, pernikahan campur beda budaya mengajarkan anda untuk tidak bersikap prejudice atau fanatik berlebihan. Saya dan suami jadi belajar toleransi satu sama lain.
2. Belajar bahasa yang baru
Saya belajar bahasa Jerman dan mengikuti kursus setelah tertarik mempelajari budayanya. Usai pulang kerja, saya ikut kursus. Terbayang rasa lelah seharian di kantor lalu dijejali bahasa asing. Saya banyak melatih kosakata dengan teman-teman virtual berbahasa Jerman. Banyak cara saya lakukan. Kisah belajar bahasa Jerman saya pun tidak sia-sia, saya dapat nilai 93 mendekati sempurna. Artikelnya bisa dilihat di sini.
Bagaimana dengan suami saya? Dia belum pernah belajar bahasa Indonesia. Kini setelah menikah, saya lihat dia mulai menguasai sedikit. Kejadian konyolnya yang pernah dilakukan suami misalnya begini. Suatu kali saya dan suami pergi bertemu dengan dua orang teman perempuan di Jakarta. Mereka semua orang Indonesia. Suami menyapa mereka dengan berkata “Selamat pagi nona-nona!” Oh gosh! Rupanya dia belajar dari running text terjemahan percakapan film English to Bahasa dari “Good morning Ladies!” Nona adalah kalimat formal yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari lalu kami semua jadi tertawa.
Menarik jika bisa menguasai berbagai bahasa di dunia. Karena bahasa adalah pintu dunia. Saya dan suami pun masih belajar satu sama lain hingga sekarang. Belajar bahasa itu perlu!
3. Perayaan & tradisi bertambah
Family oriented adalah Jerman banget. Saya berpikir budaya barat adalah budaya yang cuek terhadap keluarga, tetapi ternyata tidak. Bagaimana perayaan ulangtahun begitu berkesan tidak hanya sekedar merayakan hari jadi, tetapi bermakna. Artikelnya di sini Lalu juga berbagai tradisi lainnya seperti hari ibu atau hari ayah dirayakan di Jerman. Jadi saya tidak hanya mengenal hari ibu 22 Desember saja ya.
Karena suami berasal dari Bayern, banyak tradisi yang masih dipelihara misalnya menjelang masa Prapaskah, berbagai perayaan digelar. Lalu juga kemeriahan pelaksanaan natal yang berbeda juga saya rasakan. Intinya, kemana pun kita melangkah bahwa tradisi dan perayaan mencerminkan identitas budaya kita. Dan sekarang menjadi bertambah karena menikah.
4. Memperluas citarasa makanan
Dulu makanan saya begitu lokal karena hanya itu yang bisa saya masak. Setelah menikah, saya belajar citarasa makanan yang berbeda. Suka atau tidak, saya dan suami harus terbuka soal selera dan citarasa makanan. Kami berbagi pengalaman masak bersama. Atau saya mencoba aneka resep yang selama ini baru untuk saya. Saya belajar banyak soal memasak dari mertua.
Biasanya sarapan saya selalu nasi, kini diubah jadi roti misalnya. Suami saya yang jarang makan nasi dulunya, sekarang dia jadi sering makan nasi. Itulah perbedaan rasa namun memperluas citarasa membuat saya dan suami kaya untuk mencoba hal baru. Intinya, saya dan suami sekarang terbuka dengan hal baru dalam hidup, termasuk makanan. Jadi kelezatan makanan pun jadi variatif tergantung bagaimana mengelolanya.
5. Kesempatan kunjung keluarga jadi intensitas traveling tinggi
Saya ingat tahun 1980-an dimana begitu sedikit orang bisa naik pesawat atau kapal laut, saya sudah mencoba keduanya. Mengapa? Karena saya berkesempatan mengunjungi keluarga ayah di Flores. Luar biasa ya!
Suami yang tidak pernah tinggal di Asia sebelumnya, jadi punya kesempatan untuk belajar mengenal budaya saya di Indonesia. Mungkin jika tidak menikah dengan saya, dia hanya tahu Bali saja (katanya). Padahal kekayaan alam Indonesia lebih dari sekedar Bali alias masih banyak lagi. Kami pernah mengendarai mobil dari Banten hingga ujung Jawa Timur, mengeksplorasi pulau Jawa. Dia pun kagum.
Kesimpulan
Menikah campur memberi kemungkinan untuk berpergian lebih intens lagi untuk mempererat tali silahturahmi satu sama lain. Saya jadi punya saudara dan keluarga di Jerman dan suami punya keluarga besar di Indonesia.
Demikian pengalaman saya di atas. Hikmahnya adalah bahwa setiap orang itu unik, terlepas apa pun budayanya. Jika memang itu jodoh, meski berbeda budaya, toh anda harus menerima dan belajar budayanya juga.