CERPEN (10): Balas Dendam yang Tak Pernah Manis

“Hallo abang, bisakah kita bertemu di Hauptbahnhof München?” kataku via telpon. 

Suara di seberang sana langsung menjawab “Wann ist der termin?” Sahutnya jam berapa kita bertemu. 

Aku jawab “Am Dienstag Nachmittag Um drei uhr”

“Gerne. Bis dann” kata orang yang aku sebut abang ini. Dia sedang bertugas di Jerman, namun tidak di München. 

***

Saat melihatnya dari jauh, aku sudah tersenyum melihat abangku ini. Matanya masih awas memandangku kala aku sudah duduk di dalam kafe. Seperti biasa, dia memelukku dan bercium pipi kanan kiri khas kebanyakan orang München bila lama tak bertemu dengan orang yang dikenalnya. 

“Kau ingin pesan apa, Anna?

Aku sudah terlanjur memesan dua capucino. Abang suka ‘kan? 

“Kali ini aku harus menurut padamu ya” seloroh abang sambil tertawa. 

Kebanyakan pertemuan aku dengan abang memang selalu bermakna dan dia seperti mengajariku. Saatnya balas dendam agar aku bisa mengajari abang bahwa aku kini mulai suka minum kopi. Aku tidak ingin diajari filosofi tentang kopi lagi. 

Tak berapa lama pramusaji membawakan pesanan kami. 

“Tumben kau suka minum capucino tanpa gula” tanyanya.

“Aku memilih agar lambungku tidak nyeri karena capucino tidak terlalu banyak kafeinnya. Sesuai petuah abang, ini akan menjadi nikmat tanpa gula.”

Jujur aku sebenarnya tak ingin meminum capucino karena aku tak ingin menderita nyeri lambung. Toh, lebih baik menghindari daripada mengobati. Tetapi perjumpaan dengan abang memang tak lengkap tanpa meminum kopi. Meski ada perbedaan antara kopi dan capucino namun pertemuan kami sore itu tidak ada yang berbeda. Abang masih menjadi sahabat terbaikku untuk berbicara tentang kehidupan.

Obrolan pun berlanjut. “Aku bertemu dengannya bang. Tanpa sengaja di kereta. Dia menatapku dan berusaha mengenaliku. Aku akhirnya berusaha turun di stasiun berikutnya yang bukan jadi tujuanku. Aku pikir lebih baik menghindar dari dia,” ceritaku tentang pria itu. 

Mengapa kau menghindar? Kau tak akan menyelesaikan masalah dengan begitu. Satu-satunya cara adalah memutuskan bahwa kau tak ingin bersama dengan dia lagi. Sudah itu. Titik.”

Aku diam.

Dengar Anna! Kau menghindari kopi tetapi kau meminum capucino. Sama saja! Kau akan merasakan nyeri yang sama juga. Mengapa? Itu sama-sama mengandung kafein,” kata abang dengan penuh penekanan.

Aku pun meneruskan ceritaku sementara abang berhenti menceramahiku dan meminum capucino. 

“Dia lalu ikut berhenti dan mengejarku, bang. Aku berusaha menghindar hingga dia berteriak memanggil namaku. Aku tak nyaman rasanya karena semua orang di stasiun seperti menatapku. Aku berhenti dan cuma berkata ‘Entschuldigung, wer sind Sie?’ Dan aku pun langsung pergi secepatnya.”

Abang masih terdiam. 

Ingin rasanya aku balas dendam padanya, bang. Aku ingin dia sadar bahwa aku begitu berharga sebagai perempuan” kataku. Aku pun segera menghabiskan capucino milikku. 

Aku melihat abang masih terdiam dan mengamati cangkir capucino. Lalu dia melambai pada pramusaji. “Ein kaffee bitte” katanya. Kali ini abang menambah pesanan menjadi kopi. Mungkin dia tak suka aku paksa minum capucino.

Dia masih terdiam. Bisa jadi dia bingung dengan ceritaku. Atau dia bingung bagaimana menasihatiku lagi yang masih menceritakan masa lalu dengan pria itu. 

Kopi pesanan abang datang. Slurput. Dia meminum kopi hitam itu dengan gayanya yang khas. Mungkin setelah ini dia dapat inspirasi.

“Capucino kau pilih mungkin akan lebih baik dari kopi hitam ini karena rasanya yang sedikit manis meski tanpa gula” kata abang sambil memegang gelas kopi miliknya. “Kau tidak bisa juga memaksaku menyukai seleramu ‘kan. Aku suka kopi hitam tanpa gula dan kau suka capucino. Meski kau menghindari kopi dan memilih capucino, toh kau tetap mengalami sakit perut setelahnya. Kau tak bisa menghindarinya Anna. Kau harus putuskan. Sama seperti lelaki itu, jangan menghindar! karena nyerinya pun tetap sama. Itu pilihan. Putuskan untuk berhenti dan melanjutkan hidup,” jelas abang padaku.

Balas dendam mungkin terdengar manis, namun tidak akan mengubah keadaan. Kau tetap mengalami sakit hati juga” kata abang. Katanya lagi Capucino mungkin terasa lebih manis namun kau tidak akan mendapatkan yang kau inginkan. Kau tetap sakit perut setelah ini. Ya ‘kan?”

Perutku langsung terasa mules, entah karena mendengar nasihat abang atau aku memang masih mengalami masalah perut setelah meminum capucino. 

Ich muß mal, bang. Ein moment bitte” seruku sambil berlalu mencari toilet di stasiun pusat kota München itu. 

***

Aku kembali setelah dua puluh menit berlalu. Tampak kejauhan abang mengawasiku dan tersenyum padaku. Brengsek, umpatku dalam hati. Mengapa abang benar ya?

Aku memang harus memutuskan untuk tidak minum apa pun, kopi atau capucino karena memang aku tak bisa memaksa perutku,” sahutku pada abang sambil duduk kembali.

“Anna, pepatah bilang, orang yang lemah melakukan balas dendam. Orang yang kuat memaafkan. Tetapi orang yang cerdas membiarkannya berlalu. Aku yakin kau cukup cerdas dengan memutuskan hubunganmu dengan pria itu.” 

Abang menghabiskan kopinya. Slurput, terdengar abang meminumnya. Sementara aku masih terpaku membuyarkan niat balas dendamku pada pria itu. 

Lalu abang berteriak memanggil pramusaji “Zahlen bitte” 

“Acht Euro neun und neunzig cents” kata pramusaji sambil menyerahkan bon kafe. Abang pun mengeluarkan selembar kertas sepuluh Euro dan menolak uang kembalian pramusaji yang kemudian dijadikan tip.

Sebelum berpisah, abang masih memberi penguatan agar aku segera memutuskan untuk mencari apartemen lain supaya tidak bertemu dengan mantanku lagi.

Aku melambaikan tangan saat pluit kereta berlalu. Abang pun tersenyum dan membalas lambaian tanganku.

Keterangan:

Hauptbahnhof: Pusat stasiun kereta kota Munich.

Wann ist der termin?: Kapan pertemuan itu?

Am Dienstag Nachmittag Um drei uhr: Pada hari Selasa setelah makan siang jam 3 sore.
Gerne. Bis dann: Baiklah, sampai jumpa.

Entschuldigung, wer sind Sie: Permisi, siapa Anda ya?

Ein kaffee bitte: tolong 1 kopi

Ich muß mal. Ein moment bitte: Saya ijin ke belakang. Sebentar ya.

Zahlen bitte: tolong bonnya.

Acht Euro neun und neunzig cents: 8,99 €.


Advertisement

2 thoughts on “CERPEN (10): Balas Dendam yang Tak Pernah Manis

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s