
Ada banyak pengalaman yang menunjukkan bagaimana membaca itu adalah kebiasaan warga di Jerman. Dari sekian pengalaman, saya pilih tiga saja yang menarik untuk anda.
Pengalaman pertama.
Saat saya pindah, menempati satu hunian maka saya memerlukan perabotan perlengkapan rumah tangga seperti tempat tidur, meja, kursi, rak dan sebagainya. Setelah saya membelinya, saya berpikir bahwa nanti ada karyawan dari toko yang akan merakitkan untuk saya di kamar asrama. Ternyata tidak. Jika saya memerlukan bantuan karyawan toko maka saya harus membayarnya dengan sejumlah uang yang tentu saja mahal untuk ukuran mahasiswa saat pertama kali di Jerman. Lalu apa yang harus saya lakukan? Kata kasir toko, “Silahkan anda baca informasi bagaimana merakit barang yang anda beli!” Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya harus merakit meja belajar baru dari membaca buku petunjuk yang terselip di dalam produk.
Baca! Baca!
Pengalaman kedua adalah saat saya mengamati ruang tunggu di klinik, rumah sakit dan kantor pemerintahan. Mereka terbiasa menyediakan majalah, buku dan bahan bacaan ketimbang televisi. Dalam keheningan, orang-orang di ruang tunggu itu membaca bahan yang tersedia. Ruang tunggu saja sudah didesain supaya orang terbiasa membaca, ketimbang menyaksikan siaran televisi.
Kemudian, ada satu televisi yang diletakkan di dekat ruang tunggu, maka saya pun pindah ke situ. Saat saya tiba di situ, ternyata televisi itu adalah monitor berisi nomor antrian. Jadi informasi yang disampaikan bukan lagi lisan, melainkan apa pun yang tersaji di televisi tersebut adalah nomor antrian dan informasi singkat seperti berita dan sebagainya. Pengunjung pun dilatih untuk menyimak informasi tertulis ketimbang informasi lisan yang kadang membingungkan. Saya pun tampak malu bahwa itu bukan televisi.
Baca! Baca!

Pengalaman ketiga adalah saat saya berada di Frankfurt am Main tempo lalu. Kota besar ini ternyata punya program “Offene Bücherschränke” yang sudah ada di beberapa titik. Program ini menyediakan rak buku permanen dan terbuka yang membuat siapa saja bisa meminjam, menukarkan buku dan memberikan buku. Buku-buku ini tentunya gratis, termasuk tidak ada biaya peminjaman seperti perpustakaan dan juga tidak ada harga yang didapat jika kita memberikan buku.
Jika dibuat dalam istilah bahasa Indonesia, ini semacam program rak buku terbuka dimana siapa pun berhak membaca buku yang tersedia. Bagi mereka yang ingin memberikan atau menghibahkan bukunya, tentu ini akan menambah koleksi buku dalam rak tersebut. Bahkan buku-buku yang tersedia di ruang publik seperti di area pejalan kaki, seperti yang saya temukan, maka kita bisa memanfaatkan buku tersebut sambil kita membaca kafe, restoran, atau di halte bis misalnya.
Program penyediaan rak buku terbuka ini sudah dimulai sejak tahun 2009. Tidak hanya pemerintah daerah yang berperan dalam melaksanakan program ini, keterlibatan sponsor bahkan perseorangan telah membuat program rak buku terbuka ini semakin luas lagi di titik-titik populer di Frankfurt am Main.
Begitu tiga pengalaman saya tentang bagaimana budaya membaca sudah menjadi kebiasaan bagi warga di sini.
Wahh inspiring sekali. Salam kenal dan Terimakasih untuk tulisannya, sukses membuat Saya bernostalgia dengan pengalaman yang sama ketika tinggal di Australia. Huhuhu sekarang sudah di Indonesia dan hal-hal yang ditulis bikin Saya pengen balik kesana, malah membangkitkan semangat untuk mulai nabung dan mengunjungi Jerman. Suatu saat nanti. 😊🙏
LikeLiked by 1 person
Rak buku terbuka konsep yang menarik ya. Asik bisa bawa pulang dan sumbangin buku juga.
LikeLiked by 2 people
Wuih. Semoga kelak ada di Medan, Sumatera Utara.
LikeLiked by 2 people
Pantaslah Frankfurt sering dipakai untuk event Book Fair. Negara maju bisa menjadi tolak ukur minat baca warga negaranya ya.
LikeLiked by 2 people
Wah saya termasuk literasi rendah kak, malas baca buku hikz 🤭
LikeLiked by 1 person
Waduh🙄
LikeLike
Great post
LikeLiked by 1 person
Pengalaman yang sangat menarik, Kak (Always). Sayangnya kita bukan bangsa yang suka membaca, meskipun kegiatan membaca itu bisa saja dipelajari dan dilatih. Kita bangsa yang suka berbicara, ngomong dan lisan. Tulisan nomor kesekian.
Tapi, kejadian ini benar-benar menarik untuk dipelajari ya, sedikit demi sedikit memang bangsa kita sudah mulai menuju ke sana. Pemerintah juga sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk membiasakan kita membaca sejak dini.
LikeLiked by 2 people