
Baru-baru ini saya membaca jurnal penelitian yang tentang hambatan komunikasi sebagai turis saat sedang berada di restoran. Penelitian ini didasari atas maraknya traveling yang memungkinkan orang saling kontak satu sama lain, seperti turis memesan makanan di suatu restoran. Fenomena lain adalah bahasa pengantar yang dijadikan acuan turis saat memesan makanan di restoran. Apakah semua pramusaji itu bisa berbahasa Inggris? Atau dibalik, apakah semua turis yang memesan makanan bisa berbahasa Inggris sebagai bahasa pengantar?
Berawal dari hal itu, saya pun membuat analisa berdasarkan hasil pengalaman saya saat sebagai turis. Apa saja siasat restoran/kafe di area pariwisata atasi hambatan komunikasi bagi para turis yang hendak memesan makanan?
1. Tempatkan pramusaji yang pandai Bahasa Inggris
Tak semua turis bisa berbahasa Inggris demikian pun tak semua restoran menempatkan karyawan yang bisa berbahasa Inggris di area pariwisata. Strategi restoran pertama di area wisata di negara yang bukan berbahasa nasional bahasa Inggris adalah menempatkan karyawan yang bisa berbahasa Inggris. Karyawan ini biasanya diletakkan di posisi penyambutan tamu, bila mana ada turis butuh informasi maka karyawan ini bisa menjelaskannya dengan baik.
Tak hanya soal menu makanan, harga dan layanan restoran saja yang bisa dijelaskan oleh karyawan pandai berbahasa Inggris ini, melainkan dia diharapkan bisa menjelaskan hal lain. Misalnya karyawan ini bisa membantu informasi soal destinasi wisata, kultur di negara tersebut hingga hal lain yang mungkin ditanyakan si turis.
2. Menu dan deskripsi pesanan tersedia dalam bahasa Inggris

Cara berkomunikasi lainnya adalah menjelaskan menu restoran/kafe dalam dua bahasa, yakni bahasa lokal dan bahasa Inggris. Ini menjadi siasat bagaimana pengunjung yang notabene turis bisa mengetahui dengan jelas menu makanan dan minuman yang dipesannya. Karena tak semua orang baik turis atau pengunjung paham menu makanan atau minuman yang dipesan tanpa deskripsi sebagai penjelasannya.
Saya sering menemukan menu dalam dua bahasa di restoran yang terletak di area turis. Misalnya “schnitzel” ini hanya sekedar contoh bahwa makanan ini adalah makanan populer di Jerman, tetapi apakah semua orang tahu tentang schnitzel? Menu dideskripsikan dengan jelas misalnya “Schnitzel” adalah potongan daging sapi yang dibungkus tepung panir kemudian digoreng. Atau minuman yang menjadi racikan di restoran misalnya “Mango-lassi” di restoran India, kemudian ada penjelasan isian pembuatannya.
3. Membuat visual makanan

Sebagai turis, bisa jadi kita berada di area yang tak mudah untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Untuk meminimalisir kesalahpahaman dan memudahkan pesanan. Sebagian kedai makanan atau restoran membuat visual makanan yang dijualnya. Hal ini memudahkan turis paham apa yang dipesannya. “Visual makanan palsu” tentang makanan ini tidak hanya memberi informasi soal pesanan saja tetapi memberi efek psikologis untuk mencoba makanan tersebut.
Bentuk visual makanan lainnya adalah membuat foto dari tiap pesanan yang tersedia di buku menu. Ini sangat membantu turis memahami apa yang dipesannya. Bentuk visual lainnya adalah memberi nomor pada tiap visual makanan sehingga turis hanya menyebutkan nomor setelah melihat foto menu pesanan. Pemberian nomor pesanan akan memudahkan penyebutan nama pesanan ketimbang melafalkan pesanan yang terkadang susah dilakukan oleh turis.
4. Kategori pesanan yang memudahkan pembeli

Deskripsi lain misalnya, makanan dan minuman dikategorikan yang memudahkan pengunjung atau turis paham pesanannya. Misalnya kategori makanan vegan, vegetarian, daging ayam, sea food, dsb. Kategori makanan pembuka seperti sup, salad, kategori makanan utama dan kategori makanan penutup seperti es krim, dessert, kue dan sebagainya. Minuman bisa dikategorikan sebagai minuman soft drinks, alkohol, non alkohol dsb. Kategori lain juga dari tingkat kepedasan, ada petunjuk informasi atau gambar bahwa makanan tersebut pedas.
Kategori pesanan memudahkan siapa saja tidak hanya turis sebagai pengunjung restoran. Kategori membantu turis memilih pesanan dengan praktis. Kategori pesanan juga bisa dibuat berdasarkan menu harian, menu mingguan atau menu bulanan yang menjadi promosi diletakkan di pintu muka restoran misalnya. Kategori ini juga meminimalisir komunikasi turis seperti bertanya atau mencari tahu soal pesanan.
5. Membuat metode pembayaran yang praktis

Sebagai turis terkadang kita kesulitan melakukan pembayaran hanya karena kebiasaan atau tak ada penjelasan lebih lanjut. Metode pembayaran bisa dilakukan tunai atau non tunai. Masalahnya turis kadang-kadang ribet dengan urusan kartu yang terkadang berbeda-beda yang diterima sebagai alat sah pembayaran. Belum lagi ada juga restoran yang tak terima pembayaran lewat non tunai misalnya. Masalah lain misalnya pemberian pajak, tip service restoran, dan sebagainya. Tak jarang ada juga turis yang komplen dengan nilai total pesanan yang dibayarkan.
Pembayaran yang tak praktis memperpanjang hambatan komunikasi sebagai turis saat pesan makanan. Pasang harga pesanan makanan dan minuman dengan dua pilihan pembayaran mata uang, misalnya saat saya di beberapa negara Eropa yang tak memiliki mata uang Euro maka pembayaran praktis bisa dibayarakan dengan mata uang Euro. Pembayaran praktis lainnya adalah segala nominal pesanan dibayar dengan non tunai, pakai kartu kredit atau kartu debit. Meski cara kedua ini, tak disukai semua turis membayarkan dengan kartu mereka.
Pembayaran praktis lainnya menuliskan nama makanan/minuman yang dengan harga yang sudah tertulis di papan informasi di pintu restoran. Dengan begitu, turis sudah bisa membaca pesanan dan harganya untuk mempertimbangkan pembayarannya.
Kesimpulan
Bagaimana pun, komunikasi lintas budaya sebagai turis kerap terjadi dalam memesan makanan/minuman. Lima ide di atas adalah pengalaman pribadi yang mungkin bisa saja muncul ide lain untuk memperkaya bacaan saya di atas.
Anna ,that’s very very useful tips for a vivid traveller like me! Thanks a lot!😊
LikeLiked by 1 person
You’re always welcome, uncle😁 thank you also for your visiting. I am happy to read your travelogues around the world.
LikeLiked by 1 person
Thanks Anna!God bless you 🤗
LikeLiked by 1 person
Amen 😇
LikeLiked by 1 person
Salam kenal ya, aku suka baca2 postingnya:
Sayangnya restoran yang biasa memajang menu dalam bahasa Inggris ini biasanya tourist trap, alias bukan otentik dan harga makanan yang lebih mahal. Kami biasa memilih makan di tempat yang punya review tinggi di berbagai platform medsos, dan di gang2 kecil, dan biasanya mereka ngga punya menu bahasa Inggris. Google Translate app jadi andalan 🙂
LikeLiked by 1 person
Yups, Va emang skrg google translate udah bs lgs nangkap yg kita mau. Apa yg aku crtain di atas adl ttg bagaimana siasat berkomunikasi restoran di area turis, salah satunya buku menu tersedia dlm bhs inggris untuk negara yg emang gak berbhs inggris. Ini ngebantu bgt apalagi dirinci misalnya apa itu “nasi goreng”, kalo istilah tourist trap aku hanya nemu di bbrp negara. Misalnya nasi goreng 10 ribu, tapi kalo ditulis fried rice jadi 100 ribu. Cuma krn beda bhs doang.
Pemberlakuan menu dlm bhs lokal dan bhs inggris itu mmg ada yg mjd standar restoran.
Terimakasih pengalamannya, good point, aku lupa gak masukin juga review dan platform medsos.
Salam kenal juga🙂
LikeLike
Maksudku restoran tourist trap itu bukan begitu, tapi restoran yang lokasinya pas di tempat banyak turis berkumpul (contoh St. Mark’s square di Venice), rasa makanan biasa saja, tapi harga selangit, yang kek gitu biasanya ada buku menu bahasa Inggris 😉
LikeLiked by 1 person
Noted👌 Again thanks ya👉
LikeLike
Salah emoticon, thanks for sharing🙂
LikeLike
Wonderful
LikeLiked by 1 person
Thank you, Subrata. Happy Sunday!
LikeLike