
Jadilah manusia yang berguna setidaknya tidak berbicara buruk dan menyakiti hati orang lain!
Ini adalah reblog dari artikel 04.12.2016 yang bisa dibaca di link ini.
Demikian kalimat bijaksana meluncur dari seorang perempuan tua yang sudah melewati seabad usianya. 102 tahun, wow! Aku terkejut sekaligus kagum padanya. Ditemui di panti jompo, nenek yang bernama Isabel itu tampak asyik menekuni pekerjaan merajut yang jadi hobinya beberapa tahun belakangan ini, kata suster yang sering merawat nenek itu.
“Oma, apa kabar?” tanyaku.
“Puji Tuhan, aku baik-baik saja. Terimakasih kau sudah mengunjungiku di sini” sapanya sambil menggenggam kedua tanganku dengan hangat.
Aku berikan bingkisan seperti yang diminta kepala perawat padaku. “Jika kau ingin mengunjungi Oma Isabel, bawakan saja seperangkat benang rajut. Dia pasti senang,” kata kepala perawat lewat telpon saat aku bertanya soal kunjunganku.
“Apa ini, Anna?” tanya nenek. Aku diam dan membiarkan tangan rentanya membuka bingkisan yang kuberikan. Sambil berjalan perlahan, ia menuju sofa di ruang tamu panti. Aku berjalan mengikutinya.
“Wah, kau baik sekali Anna!” serunya. “Suster kepala pasti bercerita padamu soal hobiku merajut. Aku memang sedang mengumpulkan baju-baju rajut buatanku. Sudah tiga tahun aku kumpulkan. Aku ingin menyumbang baju hangat untuk anak-anak panti asuhan.” lanjutnya.
Sambil duduk dia memeriksa benang rajut yang aku berikan. Aku bingung mau berbicara apa. Waktu kunjunganku tak lama. Suster perawat mengatakan Oma Isabel hanya bisa bertemu tamu setengah jam saja setiap hari. Saat aku bertanya alasannya, suster itu menjawab bahwa itu pinta oma agar waktunya lebih banyak digunakan untuk berdoa dan merajut.
“Dengar Anna, umurku sudah tinggal sedikit lagi. Tinggal Tuhan yang menentukan kapan aku bertemu denganNya. Aku hanya fokus pada kebaikan, kebaikan dan kebaikan,” katanya sambil tertawa renyah. Giginya pun sudah tak lengkap, termakan usia.
“Apa rahasia Oma sehingga Oma masih terlihat fit sampai sekarang?” tanyaku penuh selidik.
Tawanya terhenti. “Aku suka makan sayur dan buah. Aku juga suka berjalan kaki. Namun yang terpenting bukan itu. Aku ingin hidupku berguna bagi orang lain. Mungkin itu Tuhan menambah bonus hidupku” katanya sambil tertawa lagi. Tawanya yang renyah membuat pertemuanku tidak kaku seperti sebelumnya.
Penasaran aku dibuat oleh nenek yang sudah banyak makan asam garam kehidupan ini. Dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa, nenek Isabel masih diingat orang dan populer justru karena kebaikannya. Dulu ia punya rumah mewah bak istana, pegawai yang banyak diperkerjakan pada industri rumahannya dan dipuja banyak pria karena pesona kecantikannya. Hidupnya banyak didekasikan bagi kemanusiaan, namanya sering dimuat di berbagai media. Namun kini di usia senjanya, ia tidak memiliki apa pun hanya tinggal di panti jompo milik pemerintah.
“Bagaimana caranya agar hidup ini berguna bagi orang lain?” tanyaku.
“Menjadi manusia yang berguna setidaknya tidak berbicara buruk dan menyakiti orang lain. Itu sudah cukup,” sahut Oma Isabel. “Dari dulu aku hidup sendiri, tidak menikah agar hati dan perhatianku tidak terbatas. Aku cinta banyak orang dan aku milik mereka juga.” sambungnya lagi.
Dalam hatiku berbisik apakah tetap melajang jadi rahasia umur panjang?
“Tidak Anna” kata nenek. Dia seperti membaca hatiku. “Hidup itu pilihan. Aku hanya memilih untuk hidup sendiri. Kau pikir hidup sendiri itu tidak ada masalah?” tanya nenek. “Hidup itu anugerah. Hidup menjadi bermasalah ketika kita memikirkan pendapat orang lain atau apa yang orang lain katakan tentang kita.”
Aku mengangguk setuju dengan kalimat nenek barusan. What others think of you is none your business. Ngapain susah memikirkan pendapat orang lain, batinku.
Tak terasa waktu berlalu hampir mendekati tiga puluh menit. Pertemuanku hampir usai bersama nenek yang berusia seabad ini. Di usianya yang renta, ia masih berupaya berbuat kebaikan dengan membuat baju hangat rajutan untuk anak-anak. Tampak suster perawat nenek datang membawa kursi roda.
“Nah Anna, teruslah berbuat baik! Kebaikan akan selalu mengalirkan kebaikan hingga kau berusia tua nanti. Memang baik menjadi orang hebat, namun lebih hebat lagi jika kau bisa menjadi orang baik. Setiap hari” pesan Oma Isabel padaku sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku tertegun. Lalu aku melihat nenek sudah berada di kursi roda. Perjumpaan yang singkat namun berkesan.
Aku menghampiri Oma Isabel. Aku memeluknya. Aku berbisik, “Terimakasih Oma” dan dia memelukku hangat. “Hidup ini seperti buku dimana setiap lembarnya selalu berisi perbuatanmu dan orang-orang yang kau temui. Di akhir buku hidupku, aku bertemu engkau Anna. Terimakasih Anna!” ujar nenek. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
Ia seperti memberi tanda pada suster perawat. Suster mendorong dan membawa nenek menjauh dariku. Nenek terlihat menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan.
Beberapa pekan setelah kembali dari Italia, aku mendapati pesan di hapeku. Teman kursus bahasa Jerman yang menjadi host saat aku di Italia mengirim pesan singkat. ‘Anna, wie geht’s? Oma Isabel sudah meninggal dalam damai’
* Cerita ini hanya fiksi belaka.