CERPEN (21): Maukah Kau Berbagi Kopi denganku Setiap Pagi?

Ilustrasi.

Ini adalah reblog dari artikel sebelumnya yang sudah tayang di sini pada tanggal 17 Februari 2017.

–———–———–———–———

Sumpah, aku tak minum kopi. Bau kopi di pagi hari membuatku mual. Aku bahkan hampir muntah saat ayahku membuat kopi untuknya. Setelah aku mengaku tak kuat minum kopi apalagi mencium aromanya, ayah beralih suka minum teh tiap pagi. Syukurlah! Batinku dalam hati.

Orang suka sekali minum kopi di pagi hari. Mereka dengan bangganya bawa secangkir kopi dari kedai ternama sebagai bentuk eksistensi diri. Kopi yang begitu kata teman kantorku seperti gaya hidup orang kota. Mereka tidak kecanduan kopi. Mereka hanya kecanduan gaya hidup. Basi, pikirku.

Kopi. Aku tidak mau. Begitu aku ditawari untuk meminumnya. Gratis. Katanya lagi. Aku tetap menggeleng sambil angkat tangan. Eh dia masih memaksa dan berpikir cuma basa-basi. Hayiah! Buat apa basa-basi. Lalu dia mengatakan aku kuno dan tidak kekinian. Lantas aku marah besar.

Hanya karena secangkir kopi di pagi hari lalu masalah dengannya dimulai. Apakah kopi bisa meningkatkan tingkat kemarahan? Mungkin, jika orang yang tak suka minum kopi dipaksa meminumnya hanya karena sebuah filosofi. Katanya tidak ada kehidupan tanpa kopi di pagi hari. Omong kosong!

Aku mulai tidak sabar lagi menghadapi tawarannya minum kopi di pagi hari. Sial! Mengapa aku harus berangkat bersama dengannya untuk tugas kantor menjengkelkan ini?

Pagi – pagi dia sudah membangunkanku dengan menelpon dan menyapa “Selamat pagi Cinta!” Kampret, umpatku. Saat aku tidak bisa tidur di hotel dan berharap bisa bangun siang, meski aku lupa bahwa aku sedang tugas keluar kantor. Dia membuyarkan anganku. “Hayo, berangkat! Ketemu di restoran untuk sarapan ya,” katanya tanpa bisa menyangkal permintaannya.

Aku seperti hafal selama sepuluh hari bersamanya, dari pagi hingga menutup mata. Mengapa aku harus bersamanya? Semoga aku tidak mendapatkan karma, benci jadi cinta. Aku ketuk-ketuk meja kayu memikirkan hal itu. Semoga kesialanku tidak berbalik padaku. Buat sial, umpatku sambil mengetuk meja kayu berkali-kali.

“Dengar Anna, aku penasaran mengapa kau tak suka kopi di pagi hari?” tanyanya.

Haruskah kujawab pertanyaan tak penting ini? Siapa dia ingin mengetahui hidupku? Aku hanya tersenyum dan tidak menjawab.

“Kelak kau akan terbiasa menyiapkan kopi setiap pagi” katanya sambil pergi menuju kamar tidurnya yang terletak satu lantai denganku. Itu seperti mantera yang menyihirku.

Karma itu terjadi. Ketika masa lalu bisa kau kendalikan, tetapi tidak untuk masa depan.

Siapa sangka aku membencinya di masa lalu? Kini aku mencintainya hanya karena aroma kopi di pagi hari. Karma! Kau bisa tentukan apa yang kau suka dan tidak suka, tetapi kau tidak bisa membohongi takdir saat itu sudah digariskan padamu.


Aku berjalan melangkah perlahan menuju altar. Gaun putih yang aku kenakan membuatku tampak anggun bak puteri dongeng. Seluruh mata di kapel memandangku takjub. Inilah akhir masa lajangku!

Pria itu berdiri di depan pastor. Matanya tak berkedip memandangku. Ia tersenyum menyambutku.

“Anna, maukah kau berbagi kopi denganku setiap pagi?” pintanya.


Katakan masa lalu ditentukan apa yang sudah dimulai, namun masa depan yang akan menyatakannya. Itu karma! Jangan katakan kau membencinya! Mungkin kau tak cukup waktu untuk menyukainya.

* cerita ini hanya fiksi belaka.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s