Ini adalah Reblog dari artikel fiksi yang sudah tayang sebelumnya pada 7 September 2015.
“Zwei Kaffee, bitte!” seru abang teman baikku.
Abang datang mengajakku ngobrol di warung kopi. Meski warung kopi ini sederhana, entah mengapa ia memuji racikan kopi tempat ini.
“Ok!” sahut sang pelayan yang sepertinya sudah terbiasa menerima order dari abang.
Bisa jadi abang sering datang ke kedai ini. Tanpa menyebutkan spesifik kopi yang diminta, si pelayan tahu betul selera abang.
Padahal jika melihat daftar menu kedai kopi ini, ada banyak pilihan kopi yang ditawarkan dengan aneka macam rasa dan selera.
Saya bukan penikmat kopi tetapi terpaksa menerima ajakan teman baik untuk singgah sebentar di kedai ini.
Bagaimana mungkin pelayan ini tahu selera dan rasa kopi yang diminta oleh saya karena saya baru pertama kali datang di kedai kopi tua ini.
“Moment!” seruku.
Aku ingin mengubah pesanan. Pelayan tadi menghentikan langkah dan berbalik ke arah kami.
“Warum Anna?” tanya abang tiba-tiba.
“Bagaimana abang tahu selera dan rasa kopi yang aku minta tanpa bertanya dulu?” hardikku padanya.
“Dengar Anna! Coba dulu rasa kopi yang aku tawarkan” kata abang.
Hah! Kejutan apalagi ini.
Aku menuruti selera abang kali ini. Aku biarkan pelayan itu pergi membawa orderan kopi yang diminta abang tanpa aku tahu rasa kopi yang aku inginkan.
“Cemilan?” tanya abang padaku.
Aku menggelengkan kepala.
Aku sedang tidak bergairah dengan aneka makanan.
Aku hanya ingin diam.
Tak lama pelayan datang membawakan dua cangkir kopi. Aku biarkan ia menaruh di hadapan kami.
Dua kopi hitam.
Tak ada cemilan.
Tak ada gula.
Tak ada creamer.
Tak ada susu.
Tak ada sendok kecil untuk mengaduk.
“Mengapa abang suka sekali kopi tanpa gula?” tanyaku.
“Simpel saja. Aku suka kopi yang original. Asli. Tanpa campuran. Tanpa rasa,” sahutnya.
Dengan gerak tubuhnya, ia memintaku mencoba kopi tersebut.
Aku bereaksi menolak tetapi ia bersikukuh agar aku mencobanya.
Ia mendorong tanganku agar mencoba kopi tersebut.
Slurput. Aku meminum kopi itu.
Bukan seleraku.
Bukan apa yang aku inginkan.
Pahit.
Tak ada rasa.
Tidak enak.
Ini bukan harapanku minum kopi di kedai ini.
Aku tak suka.
Seperti biasa abang tertawa melihat reaksi penolakan itu. Ia meminta aku meminum kopi tersebut sampai habis.
Baik, cukup sekali aku menurutinya minum kopi yang bukan menjadi seleraku.
Aku marah.
Aku protes.
Aku kecewa.
Jika setiap orang ditawarkan pada aneka pilihan, mereka cenderung untuk memilih apa yang menjadi selera dan keinginannya.
Mereka akan memilih apa yang menjadi harapannya.
Memilih berdasarkan pengalaman.
Memilh berdasarkan keinginan.
Kenyataannya tidak seperti keinginan atau harapan.
Padahal sebagian besar hidup yang dijalani berdasarkan kenyataan, bukan harapan atau keinginan.
“Secara nyata kopi itu tanpa rasa, Anna” kata abang.
“Siapa yang suka dengan rasa kopi seperti ini? Industri kopi mencampurkan aneka varian agar bisa dinikmati banyak orang,” tambahnya.
“Hidup ini adalah kenyataan. Tidak ada rasa. Orang suka sekali mencampurkan “varian rasa” agar bisa menikmati hidup. Akhirnya hidup mereka dikendalikan oleh rasa yang menjadi selera. Mereka menjadi tidak bergairah, kehilangan selera ketika rasa itu hilang. Kenyataannya hidup itu tidak ada rasa, sama seperti kopi.”
Brengsek! Apa pula yang diucapkan oleh temanku ini.
“Apa maksud abang?” tanyaku penuh selidik.
“Sekali-kali biarkan kamu merasakan rasa asli kopi. Tanpa gula. Tanpa creamer. Tanpa susu. Disitulah khasiat dan manfaat kopi, Anna” kata abang menutup obrolan siang itu.
Hidup ini sebenarnya soal rasa dan selera. Kebanyakan kita menaruh dan meletakkan begitu banyak keinginan, harapan dan selera yang memenuhi rasanya. Akhirnya begitu bingung dengan aneka pilihan.
Hidup itu harus menghidupi.
Keluar dari rasa nyaman yang selama ini jadi selera dan pilihan.
Itu yang akan menjadi khasiat kehidupan.
Coba rasakan, apa yang terjadi?
*cerita ini hanya fiksi.
Selamat berakhir pekan bersama keluarga!
That’s nice 👌
LikeLiked by 1 person
Thanks Sir. Happy Weekend!
LikeLike