Burnout bisa jadi bukan hal asing lagi di telinga saya saat ini. Di sekitar saya, kolega saya yang memiliki anak remaja menceritakan kekhawatirannya pada burnout di generasi milenial. Dia mengeluhkan bahwa anaknya perlu mendapatkan penanganan khusus akibat burnout usia muda. Kasus burnout menyerang anak muda.
Burnout tidak saja dialami mereka yang senior dan banyak makan asam-garam kehidupan, tetapi anak milenial pun bisa mengalamiya. Cerita burnout anak milenial bisa dicek di link ini. Sedangkan burnout pada pekerja yang belum waktunya pensiun, bisa dicek di link ini.
Di antara cerita saya tadi, ada juga marriage burnout. Cerita marriage burnout akan dijelaskan nanti ya! Kali ini saya cerita expat Burnout yang juga banyak dialami para imigran, orang-orang yang berpindah ke suatu negara karena alasan studi, bekerja, pernikahan, dll.
Expat Burnout bisa terjadi ketika seseorang merindukan rumah (=kampung halaman), membandingkan kondisi, tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga stress, kesepian, depresi dll. Mereka mulai merasa lelah, tak bersemangat menjalani rutinitas, frustrasi dan berkepanjangan.
Dalam literatur lainnya disebutkan Expat Burnout merupakan keadaan kelelahan fisik dan emosional. Hal ini menyebabkan frustrasi dan stres berkepanjangan akibat transisi dan perubahan hidup yang signifikan. Gejala yang paling umum adalah sering berpikir untuk pulang ke rumah dan mengakhiri waktu di luar negeri secepat mungkin.
Meski Expat Burnout tidak dikenali dan mungkin hanya dianggap sebagai Homesick, tetapi gejala ini perlu diwaspadai agar tidak mempengaruhi aspek kehidupan. Misalnya, mahasiswa tidak bergairah lagi studi atau seseorang tidak bisa produktif saat bekerja.
Sebaiknya mereka yang mengalami expat burnout perlu mengenali apakah gejala-gejala yang dialami itu masih dalam batas normal atau tidak. Bagaimana pun masalah mental tidak bisa dipandang remeh. Seseorang yang pernah saya kenal melakukan hal fatal seperti bunuh diri akibat expat burnout yang dialaminya.
Hmm, good to know ya!