
Ketika Elvis berkarya hingga wafat, saya belum lahir sehingga saya tidak banyak mendengarkan lagu-lagunya kala saya masih di Indonesia. Saya mengenali Elvis dari berbagai literatur yang menceritakan kisah hidupnya. Karya-karyanya yang dinyanyikan ulang, penampilannya yang ditiru banyak orang atau kontes mirip Elvis sudah membuat saya percaya bahwa Elvis adalah Sang Superstar yang melegenda.
Pengetahuan saya soal musik itu minim daripada suami saya, termasuk bagaimana dia tahu tentang Elvis Presley. Itu sebab suami pula yang mengajak saya nonton Film Elvis (2022). Biasanya saya yang paling sering punya ide nonton Film di bioskop.
Film tersebut berhasil rilis di Jerman sekitar Juni lalu, yang berarti sudah dialih-bahasakan dalam Bahasa Jerman. Saya menontonnya dalam Bahasa Jerman. Setelah sekian lama tak merasakan pengalaman menonton layar bioskop akibat pandemi, akhirnya kami putuskan untuk menontonnya.
Baca: Ketika Saya Tak Mengerti Tawa Joker
Semula saya pikir Film ini pasti berisi tentang biografi dari Elvis yang sebagian besar sudah diketahui dunia. Meski begitu, saya suka dan terkesan seratus persen dari akting Austin Butler yang memainkannya begitu mirip sekali seperti Elvis, cara bicara, cara bernyanyi bahkan cara menatapnya pun benar-benar mirip seperti Elvis yang biasa saya lihat di rekaman-rekaman yang diputar di YouTube. Austin memainkan dengan baik lagu-lagu Elvis plus gerakannya yang mirip sekali. Konon Austin bersuara mirip Elvis, sayangnya saya menonton Austin yang sudah di-Dubbing ke Bahasa Jerman.
Namun begitu, Film ini tidak berdasarkan perpektif Elvis – Sang Superstar. Film ini diambil dari sudut pandang Tom Parker yang diperankan Tom Hanks sebagai manager Elvis. Kita bisa melihat bagaimana Parker merasa bersalah akan kematian Elvis Presley. Dia kemudian bercerita bagaimana dia berkenalan dengan Elvis Presley yang menjadi keseluruhan cerita film.
Baca: Keajaiban Hidup Terjadi Setelah Krisis
Saya bukan ahli peninjau karya seni atau kritikus, melainkan saya melihat Film tersebut dari cara pandang pribadi yang mana film selalu memberikan pesan tersendiri bagi penikmatnya. Sebagai orang yang belajar ilmu perilaku, Film kerap dijadikan media belajar visual. Lewat film ini saya mengenal Elvis yang sosoknya sudah meninggal ketika saya lahir.
Lewat film ini saya memperhatikan sekuel film diatur sedemikian rupa sehingga saya berada di era saya belum dilahirkan. Sutradaranya Baz Luhrman sangat apik menyajikan tokoh Elvis yang menjadi sentra Film tetapi lewat perpektif Parker, si pencerita dari awal hingga akhir film. Kejayaan Elvis masa itu, popularitasnya, kekayaannya, pernikahannya, kehidupan pribadinya bahkan plot di mana Elvis harus pergi ke Jerman untuk dinas militer benar-benar membuat saya seperti mengenali Elvis.
Baca: Manfaat Menonton Film Untuk Family Bonding
Rasanya Film berdurasi 2,5 jam itu benar-benar tidak cukup menjelaskan kehidupan Elvis yang menjadi King of Rock and Roll yang pada akhirnya dia wafat di usia 42 tahun. Elvis wafat ketika dia masih menjadi mesin pencetak uang bagi Parker. Parker memanfaatkan ketenaran Elvis untuk mengambil keuntungan pribadi sementara Elvis yang digambarkan populer seluruh jagat bumi itu sesungguhnya tak punya apa-apa.
Elvis yang lahir dalam keluarga sederhana di Mississippi bermimpi tentang dunia yang glamour. Dia membuktikan mimpinya itu. Dia membuat keluarganya beruntung secara ekonomi. Dia memiliki segalanya pada masa itu tetapi dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia mengalami kecanduan obat-obatan dan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Elvis lelah secara mental dan fisik. Kehidupan pribadinya pun berantakan.
Baca: Pencarian Orang yang Tidak Percaya
Parker mengakhiri cerita film dengan menjelaskan bahwa tuduhan penyebab kematian Elvis bukanlah dirinya. Setelah kematian Elvis yang mengejutkan dan memberi duka jutaan fansnya di seluruh dunia, ada tuduhan kalau Parker sengaja menjerumuskan anak didiknya ke ambang kematian. Parker menjelaskan faktor lainnya dari kematian Sang Raja musik tersebut.
Meski Elvis telah tiada empat puluh tahunan yang lalu, figurnya masih dikenang. Karya-karyanya yang berisi pesan cinta memang terus dinikmati dan dinyanyikan ulang oleh berbagai musisi dunia. Cinta Elvis pada ibunya yang membuat keluarganya bisa memiliki segalanya, yang mana dulu mereka adalah keluarga sederhana dan ayahnya sempat dipenjara. Ketika ibunya meninggal, Elvis sangat terpukul.
Baca: Hidup Itu Anugerah
Cinta Elvis pada Priscilla yang membuatnya harus menunggu 7 tahun untuk menikahinya. Mereka bertemu saat Priscilla masih berusia 14 tahun. Cinta Elvis pada fansnya, bagaimana dia bernyanyi dengan energik di atas panggung, sambil kadang menyapa atau mencium fansnya. Tidak ada musisi seperti dia yang memiliki energi besar saat berada di panggung.
Luar biasa! Elvis lupa bahwa cinta bukan hanya pada orang lain saja, kita perlu mencintai diri sendiri.
Film diakhiri dengan konser Elvis (1977) yang original di mana dia sedang membawakan lagu Unchained Melody. Konser itu adalah konser terakhir Elvis sebelum dia wafat. Parker hanya memberi jawaban kematian lewat konser terakhir Elvis tersebut.
Banyak musisi menyanyikan Unchained Melody yang sempat menjadi soundtrack film tenar era 90-an, Ghost. Namun tidak ada musisi yang begitu menjiwai lagu saat menyanyikan Unchained Melody tersebut selain Elvis. Anda bisa menyaksikan bagaimana konser terakhir Elvis yang populer. Saya bisa melihat dia tampak kelelahan saat itu.
Karena cinta adalah hukum universal yang berlaku untuk siapa saja, Film ini bagi saya pribadi, layak ditonton. Di akhir pandemi yang belum selesai seratus persen, dunia seolah diingatkan lagi tentang makna cinta. Cinta yang dibutuhkan semua orang untuk mendamaikan permusuhan, untuk merangkul jiwa-jiwa kesepian dan untuk membangun solidaritas dunia yang lebih baik. Elvis membangkitkan rasa cinta sebagai bahasa universal itu.
Anda sendiri punya pendapat apa?