
Ini adalah Reblog dari Cerita Pendek fiksi berjudul sama yang sudah terbit pada 20 Januari 2015.
Tiba-tiba hapeku bergetar, tanda sms masuk. Aku cek di layar monitor tertera ‘mother’, Oh Mama sms aku rupanya.
Aku tak sempat baca di kereta. Pasti sekarang di Indonesia sudah jam 5 sore, sementara di München masih jam 11, perbedaan waktu 6 jam saat musim dingin tiba.
Aku mesti bergegas menuju kelas Bahasa Jerman. Aku tak ingin terlambat.
Usai keluar kelas, aku baru sempat membaca sms Mama. Isinya bagus sekali, “Blühe, wo du gepflantz bist! Berbungalah dimanapun kau ditanam! Apa kabar kakak di sana? Mama kangen.”
Sontak aku pun kangen Mama dan keluarga. Salju turun lebat sekali saat awal tahun seperti ini. Aku bermaksud mampir di kios penjual pulsa milik orang Turki.
Aku membeli pulsa 10 Euro, cukup buat menelpon Mama sepuasnya dari provider telpon yang katanya murah jika nelpon ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Wah senang bisa menelpon Mama meski sudah larut malam di Indonesia. Aku pun membahas sms yang muncul hari ini. Aku tahu bahwa Mama tak bisa berbahasa Jerman, lantas darimana Mama mendapatkannya terus kaitannya apa dengan aku di Jerman?
Aku jadi asyik sendiri menelpon Mama memastikan mengenai sms itu.
Mama mendapatkannya dari seorang Pastor, ia paham bahwa kalimat itu tepat dikirim kepada aku yang sedang di Jerman dan memang seperti yang selalu dikatakannya untuk jaga diri di mana pun aku berada.
Lalu mulailah aku mendengarkan bla bla bla dari Mama soal arti sms itu.
Setiap orang percaya bahwa bunga itu indah, apa pun jenis, bentuk dan keharumannya. Mereka yang dijuluki “Bunga Desa” saja sudah menandakan bahwa ia adalah gadis cantik.
Ibarat kata setiap orang ingin bisa menjadi bunga karena keindahannya. Jika ingin menjadi bunga, bukan kita mengubah tanahnya tetapi kita mengubah diri kita sendiri (jenisnya) agar kita tetap berbunga.
Di puncak gunung, tak semua bunga bisa hidup tetapi ada Edelweis yang menjadi bunga keabadian. Di gurun tandus, toh masih ada kaktus yang berbunga.
Jadi tak melulu lokasi kita tinggal itu mengenakkan atau nyaman buat kita bertumbuh.
Kita yang harus mengubah diri kita sendiri, bukan lokasi kita tinggal, supaya tetap berbunga.
Bunga juga perlambang hasil atau akibat sesuatu. Apa pun yang terjadi dengan lokasi kita berpijak, jadikan sebagai hasil atau akibat yang memberi keindahan hidup.
Tuhan pasti ada alasan mengapa kita harus berpijak di tanah tandus berbatuan dan tak subur. Tuhan juga pasti ada rencana agar kita bisa mengenyam perbedaan hidup dimana pun kita bertumbuh.
Setiap orang pasti suka melihat bunga. Jika kita bisa berbunga, kita pun disukai sebagai pribadi yang indah, menarik dengan apapun situasi dimana kita tumbuh.
Huhuhu… aku pun jadi terharu mendengarkan ocehan Mama. Mama tahu bahwa aku masih suka kesana kemari, berpetualang menimba ilmu kehidupan.
Aku pun ingin bisa “berbunga” dimana pun aku bertumbuh, meski segala halang rintangan harus dihadapi.
München, Frühjahr 2013