
Ada istilah dalam Bahasa Jerman yang sulit diterjemahkan dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia seperti kata “Schadenfreude” yang tampak begitu kejam kedengarannya.
Kata Schadenfreude telah dipakai dalam literatur sejak abad 18 dan tidak ada padanan katanya sampai sekarang.
Kata “Schaden” diterjemahkan “Ketidakberuntungan” dan “Freude” yang diterjemahkan sebagai “Kebahagiaan” yang intinya kita bisa jadi berbahagia atas ketidakberuntungan orang lain.
Bagaimana mungkin kita bersukaria atas kegagalan atau kejatuhan orang lain?
Istilah ini saya dapatkan saat ngobrol bersama dengan teman-teman di sini yang membuat saya mendapatkan pencerahan bahwa tidak melulu Schadenfreude itu bermakna buruk.
Ada orang yang kita anggap “musuh” kemudian dia mendapatkan kemalangan tentunya ada rasa “senang” atau puas karena “musuh” itu mendapatkannya. Mengapa kita begitu merasa puas atas kemalangan orang lain?
Anda pasti pernah menonton film yang berisikan kisah konyol bahwa si tokoh jahat berhasil diringkus dan “dihabisi” oleh tokoh baik.
Atau ada berita baru-baru ini seorang penjahat baru saja tertangkap dan dijatuhi hukuman setimpal atas perbuatannya.
Kita yang mendengarkannya akan merasa “puas” bahwa seseorang berhasil mendapatkan “hukuman/kemalangan/ketidakberuntungan” atas perbuatannya. Itu juga disebut Schadenfreude.
Jadi Schadenfreude tidak melulu soal iri hati atau rival yang disebabkan kepuasan atas kemalangan orang lain, tetapi lebih daripada itu.
Secara psikologis bisa dipandang keadilan seperti karma atas perbuatannya. Misalnya penjahat dihukum setimpal atas perbuatannya berarti itu adalah hukum alam yang adil.
Saya yang mendiskusikannya bersama teman-teman di sini termangut-mangut mendengarkan penjelasan mereka. Saya sendiri belum menemukan istilah tersebut dalam Bahasa Indonesia.
Pesan dari kenalan saya adalah kadang kita bergembira dan merasa lucu terpingkal-pingkal ketika orang lain begitu malang seperti jatuh terpeleset misalnya.
Namun ketika kita tertawa kemudian ikut jatuh terpeleset juga maka kita pun harus ikut mentertawai diri sendiri.
Tentu bukan hal yang buruk jika kita sesekali merasa gembira dan geli ketika sedikit kemalangan menimpa orang lain. Akhirnya itu mengenai semua orang – maka Anda harus bisa menertawakan diri sendiri.
Hidup itu adil yang kita sebut hukum alam. Siapa menabur, dia menuai. Jadi keberuntungan bisa terjadi pada siapa saja, begitu pun ketidakberuntungan.
Jadi bahagia menurut saya, belum tentu bahagia menurut Anda. Pencerahan!