Altruisme atau Formula Timbal Balik Saat Kita Menolong Orang Lain?

Dunia yang bergerak cepat dengan perubahan yang semakin pesat terkadang memunculkan egoisme untuk melihat sejauh mana saya diuntungkan dari sesuatu hal. Itu wajar karena semua dipandang berdasarkan materi, bukan immaterial.

Ketika saya menyediakan diri untuk bersikap solider dan membantu orang lain, timbul pertanyaan-pertanyaan dari orang sekitar saya seperti kenalan atau teman. Pertanyaan mereka, mengapa saya membantu mereka?

Saya bingung untuk menjawabnya karena ketika saya membantu, saya tidak berpikir alasan untuk membantu orang lain. Saya hanya berpikir kalau saya berada dalam posisi dia, itu pasti sulit.

Bantuan yang saya berikan pun bukan uang karena saya bukan hartawan, tetapi menyediakan waktu, tenaga dan teman ketika orang membutuhkan untuk didengarkan.

Ketika saya melakukannya, orang berpikir bahwa saya pernah di posisi yang sama sehingga saya perlu membantu orang lain. Atau mereka berpikir bahwa apa yang saya lakukan adalah hukum timbal balik, sehingga suatu saat saya membutuhkan bantuan, saya akan mendapatkan kembali.

Jujur kedua pemikiran tersebut bukan motivasi terbesar saya untuk membantu orang lain. Bahkan mereka yang saya bantu, sebagian besar belum pernah bertemu muka dengan saya. Saya katakan saya membantu bukan kepada siapa saya ingin menolong, melainkan saya membantu karena siapa saya sesungguhnya.

Lalu saya melihat ada orang yang berpikir ada alasan rasional mengapa seseorang membantu kesejahteraan orang lain seperti popularitas mungkin, secara langsung atau tidak langsung.

Baru-baru ini seorang kenalan bercerita bahwa dia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dibagikan ke orang yang membutuhkan. Lalu dia memposting apa yang dia lakukan. Dia merasa sedih ketika orang yang melihatnya justru bersikap nyinyir. Mengapa membantu orang lain harus dijadikan konten dan diketahui publik?

Saya yang mendengar teman ini ikut merasa prihatin, meski saya tidak membela dia atau orang-orang yang nyinyir. Bagaimana pun kita tidak tidak akan pernah menyenangkan hati semua orang di dunia ini.

Dari peristiwa saya dan kenalan saya, saya menyimpulkan tindakan yang dalam psikologi sosial yang saya pelajari dikenal dengan nama “Altruisme” di mana itu merupakan tindakan tanpa pamrih untuk peduli terhadap kesejahteraan orang lain dan tidak mendapatkan imbalan.

Saat saya masih kuliah Psikologi, dosen memberi kami tema “Altruisme” untuk dibahas. Alih-alih membahasnya, kami membuat eksperimen. Mengapa orang bersedia melakukan Altruisme dengan eksperimen kecil, bertanya arah jalan kepada orang asing yang ditemui.

Dari eksperimen kecil tersebut, ini yang mendasari motivasi saya membantu orang lain yakni kepercayaan. Bagaimana orang asing mau membantu orang lain? Karena orang yang membutuhkan bantuan percaya bahwa saya bisa membantunya, tanpa imbalan jasa.

Sedangkan saya percaya bahwa saya melakukannya karena saya adalah orang baik yang ingin mengamalkan kebajikan dan tradisi yang diriwayatkan orang tua saya. Itu (mungkin) mengapa saya ingin membantu orang lain meski saya sebenarnya tidak tahu mengapa?

Bahkan penelitian menyebutkan percaya bercerita pada orang asing akan membantu seseorang untuk merasakan bahwa dia tidak sendirian menghadapi masalahnya.

Sementara kalau cerita kepada seseorang yang dikenal, justru kita belum sepenuhnya percaya akan apa yang kita ceritakan. Sebelum cerita, kita biasanya sudah mewanti-wanti, jangan bilang siapa-siapa! Itu artinya saya belum sepenuhnya percaya pada dia, orang yang saya kenal.

Jadi daripada Anda memikirkan hubungan timbal balik, keuntungan apa yang diperoleh dengan membantu orang lain, sebaiknya Anda pikir ulang tindakan tersebut.

Saya percaya masih banyak orang yang melakukan tindakan Altruisme yang tanpa pamrih melakukan untuk kesejahteraan orang lain, tanpa memikirkan untung rugi atau timbal balik.

Meski terdengar klise atau abstrak jawaban saya, saya hanya berpikir bahwa saya tidak punya alasan untuk membantu orang lain. Saya hanya ingin membantu titik. Tanpa syarat.

Di tengah kesibukan orang mencari popularitas, masih adakah orang yang membantu dengan tulus, tanpa pamrih dan tanpa syarat?

Saya pikir ada. Mereka bukan orang kudus tetapi mereka yang sudah mencapai kebutuhan aktualisasi diri sebagai pribadi.