Eudaimonia: Kebahagiaan yang Hakiki

Kata kebahagiaan memenuhi toko-toko buku yang laris manis dibeli orang karena mereka penasaran, bagaimana menjadi orang yang berbahagia tersebut. Sebagian lagi memenuhi seminar para penceramah untuk mendengarkan penjelasan soal kebahagiaan.

Ketika ada foto orang miskin sedang tertawa, kutipan foto menunjukkan kalau kebahagiaan itu bukan tentang harta. Lantas apa? Padahal tertawa itu adalah hak setiap orang, tidak hanya orang miskin saja, orang kaya juga. Siapa pun berhak tertawa.

Pertanyaan selanjutnya apakah berbahagia ditunjukkan dengan tertawa saja? Tidak juga. Ada yang bahagia hanya dinikmati diri sendiri dan tak terlihat ekspresinya. Bahkan ada yang begitu bahagianya sehingga dia menangis terharu.

Dari jaman dulu – Sebelum Masehi – sampai sekarang, kebahagiaan memang sudah dibicarakan banyak orang. Contohnya para Filsuf yang juga sudah mengutarakan konsep kebahagiaan. Sebut saja Aristoteles yang sedang saya kutip pengajarannya, yakni konsep Eudaimonia.

Konsep ini jarang dikenal. Bahkan tidak sepopuler konsep Hedonism yang menjadi kebalikan dari Eudaimonia. Hedonism berasal dari kata Hedonia, di mana kebahagiaan bergantung pada hal-hal di luar diri.

Konsep Hedonisme bisa dikaitkan dengan gaya hidup misalnya. Sedangkan Eudaimonia bukan seperti itu. Ada banyak public figure yang hidupnya begitu sederhana karena memprioritaskan nilai kesederhanaan daripada nilai kekayaan misalnya.

Mengapa harus memiliki sesuatu yang berharga untuk sebuah pengakuan sosial? Sementara diri sendiri itu sebenarnya sudah berharga. Hidup itu sendiri adalah hadiah yang paling berharga. Eudaimonia menanamkan internalisasi kebajikan dasar.

Sikap batin itu yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan dari faktor eksternal yang membuat kita begitu bergantung padanya. Konsep Eudaimonia itu dari penelusuran saya, dibahas secara intensif pada Abad Pertengahan oleh Immanuel Kant yang juga dilanjutkan oleh Mill.

Eudaimonia menjadi puncak atau tujuan manusia yang kita sebut berbeda-beda. Bagi Aristoteles, itu disebut “Glück” sedangkan Kant menyebutnya “Guten Willen” kemudian Mill menyebutnya sebagai “Lust” yang membuat saya kebingungan memformulasikan dalam Bahasa Indonesia.

Kita bisa menyebutnya kedamaian batin, kesenangan, kebahagiaan yang hakiki dan lain sebagainya setelah kita berhasil melewati penemuan diri. Bahkan pencapaian itu terjadi ketika kita punya makna dan tujuan hidup.

Orang yang mencapai itu -Eudaimonia- tidak perlu memikirkan apa yang orang pikirkan atau bagaimana saya bisa berbahagia misalnya. Intinya adalah Well-being itu membuat kebahagiaan yang hakiki.

Advertisement

One thought on “Eudaimonia: Kebahagiaan yang Hakiki

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s