
Suatu kali saya datang bertamu ke seorang kenalan asal Jepang. Saat ngobrol, saya menggenggam cangkir yang saya minum. Saya merasa permukaannya aneh tidak seperti cangkir umumnya.
Dia pun menjelaskan kalau dia membuatnya sendiri ketika ada workshop pembuatan tembikar. Di kota kami memang ada agenda seperti itu, yang menawarkan program pembuatan tembikar.
Obrolan kami berlanjut pada bagaimana cara pandang saya yang merasa aneh tentang sesuatu yang tidak halus permukaannya seperti cangkir umumnya, tidak sempurna, sedikit gagal dan mungkin tak berguna.
Hal ini seperti membawa saya pada filosofi Wabi Sabi di Jepang yang menarik. Wabi mengungkapkan bagian dari kesederhanaan, ketidakkekalan, kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Sementara Sabi menunjukkan pengaruh pada suatu zat atau objek apa pun sehingga Wabi Sabi menawarkan gagasan apresiasi estetika terhadap penuaan, kekurangan dan ketidakindahan sebagai penerimaan dan ketidaksempurnaan.
Setelah penasaran, saya pun membaca buku elektronik yang beredar dan merangkum 5 hal berikut:
1. Nrimo untuk mencapai kebebasan
Ibu saya berasal dari suku Jawa di Indonesia. Salah satu filosofi hidup yang diajarkannya adalah sikap Nrimo atau menerima. Nrimo menurut ibu saya memberikan kebebasan menjadi diri sendiri, semacam kepasrahan kepada yang ilahi.
Mengapa dengan nrimo kita menjadi bebas? Suatu kali saya bertanya pada ibu saya karena saya tidak bisa membayar kuliah. Kami tidak punya uang saat itu. Kata ibu saya, nrimo membuat kita tidak semakin menderita. Itu betul ternyata.
Ketika saya cuti semester kuliah karena tidak ada biaya kuliah, saya mendapatkan kesempatan bertumbuh. Saya mendapatkan pekerjaan di kampus ketika saya membicarakan kesulitan keuangan semester kuliah pada dosen penasihat akademik.
Dengan nrimo itu kita “surrender” pada situasi tantangan atau kesulitan yang terjadi. Surrender itu bukan menyerah. Itu adalah hukum alam, semacam tarik menarik.
Rencana yang tidak sempurna -karena saya ingin cepat-cepat selesai kuliah pada waktu itu- justru memberi jalan untuk saya bertumbuh, the path of growth.
2. Tidak berusaha menunggu hingga sempurna, tetapi menyempurnakan yang sudah ada
Filosofi Wabi Sabi ini juga menarik buat saya seperti soal kesempurnaan. Siapa sih yang menuntut kesempurnaan dalam hidup kalau bukan diri sendiri?! Sejatinya kesempurnaan itu tidak ada di dunia ini.
Begitu mudah kita mengingat ketidaksempurnaan yang hanya satu persen dari 99 persen lainnya yang baik-baik saja. Setelah memahami ini saya tidak ingin menunggu hingga syarat terpenuhi, seharusnya saya mulai dari sekarang.
Rencana yang sempurna adalah seperti yang diimpikan tetapi Tuhan punya kendali atas hidup sehingga tugas kita menyempurnakannya. Jadi Wabi Sabi mengajarkan kita bukan berusaha mencapai kesempurnaan tetapi berusaha menyempurnakan yang sudah ada.
3. Sesuatu yang gagal/rusak tetap berguna
Kalimat yang begitu menarik buat saya tentang Wabi Sabi yang saya kutip sebagai berikut
Consider that your failures are there to teach you how not to do things, your mistakes are there to teach you the importance of forgiveness, and your wrinkles are there to remind you of your laughs that caused them.
Dalam hidup setiap orang pasti pernah berbuat salah atau memilih jalan yang salah seperti karir pekerjaan, pendidikan, atau bahkan pasangan hidup.
Namun sikap kita yang menentukan bagaimana kita tetap menganggapnya sebagai pelajaran dan pengalaman, bukan semata-mata kesalahan.
Melalui Wabi Sabi ini saya belajar bahwa kesalahan adalah proses dan tetap menganggap proses itu berguna dalam hidup. Tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, bahkan dari kegagalan, kesalahan atau ketidaksempurnaan hidup.
4. Menikmati hidup dari hal sederhana dan sadar
Kalau melihat seni dari negeri matahari terbit yang memanfaatkan filosofi Wabi Sabi, saya menjadi paham bahwa hal yang sederhana itu justru membahagiakan. Mengapa?
Kebanyakan dari kita sudah terbawa pola pemikiran hidup luxury yang memandang bahwa hal yang mewah, punya nilai status sosial atau memiliki harga yang fantastis akan menciptakan rasa bahagia.
Dicontohkan lewat dua lampu. Satu lampu kristal dengan mata yang berkilauan dan harga fantastis. Lampu kedua terbuat dari bambu dengan anyaman yang sederhana.
Wabi Sabi mampu menciptakan lampu kedua dari bambu sebagai hal sederhana dan memberikan rasa damai, daripada lampu pertama dari kristal sebagai hal mewah tetapi mendatangkan ketakutan seperti takut jatuh, takut dicuri, takut tak bisa membayarnya dsb.
Hidup itu sederhana ketika kita bisa menciptakan suasana hati itu dalam diri kita secara sadar. Percuma punya lampu kristal ketika tidak bisa menikmatinya hanya karena bekerja keras demi membayar tagihannya misalnya.
Kalau ingin bahagia, tak perlu mencari yang mewah. Dapatkan hal yang sederhana secara sadar.
5. Mencapai kepuasan diri lewat penerimaan
Saya pernah menuliskan betapa sebagai manusia kita begitu serakah. Kita berdoa berulang-ulang untuk keinginan kita yang tak pernah terpuaskan.
Saya ingin lulus ujian. Setelah lulus ujian, saya ingin dapat kerja. Setelah dapat kerja, saya ingin dapat jodoh. Setelah dapat jodoh, saya ingin punya rumah. Setelah dapat rumah, saya ingin punya anak. Setelah punya anak, dan seterusnya.
Kepuasan itu sama seperti kebahagiaan, tanpa syarat. Kapan pun kita bisa berbahagia, bukan karena apa yang saya punya. Kita puas bukan atas apa yang saya punya tetapi saya puas atas diri saya sebagai pribadi.
Masalahnya kita begitu sulit menerima apa yang kita miliki karena melirik kepunyaan orang lain. Padahal standar kepuasan setiap orang itu berbeda-beda.
Melalui Wabi Sabi saya belajar menerima diri sendiri bahkan dari kekurangan saya. Saya belajar melepaskan diri dari materialistik dunia dan mengapresiasi hal sederhana.
Kesimpulan
Saya melihat memang desain Wabi Sabi ini bukan mendatangkan kemewahan tetapi kesederhanaan. Hidup sejatinya tidak menuntut kesempurnaan tetapi menyempurnakan yang sudah ada. Wabi Sabi lebih pada mendatangkan kedamaian hati dari hal sederhana.