5 Alasan Berikut Menjelaskan Mengapa Kita Ingin “Disukai” Di Media Sosial

Kejadian yang saya ceritakan berikut terjadi di Indonesia. Teman kerja saya terlihat gelisah, sesekali dia melihat pada layar monitor hape. Terdengar bunyi notifikasi pada hape, dia melihat pada layar hape kemudian tersenyum senang. Lalu dia pinjam hape saya sebentar, sambil saya bersama dengan dia mengecek media sosial. Rupanya dia baru saja posting status dan saya dimintanya memberikan ‘like’. Oh, jadi karena ini membuatnya suka tersenyum sendiri. Anda paham maksud saya, ingin diberi ‘like’ pada status media sosial.

Saya sempat membaca berita bahwa si pencipta ‘like’ di facebook memutuskan enggan menggunakan facebook. Sebagai penciptanya, dia khawatir pemberian ‘like’ akan berdampak negatif secara psikologis pada penggunanya. Berita di sini. Kekhawatiran itu ternyata benar seperti yang tampak pada teman kerja saya tersebut. Dia sampai meminjam hape saya, on befalf of me, untuk memberikan ‘like’ pada postingannya.

Apa yang terjadi?

Fenomena psikologis ini memang menimbulkan candu bagi penggunanya. Tetapi ini pula yang membuat saya mengamati dan memberikan pendapat saya di bawah ini.

Mengapa orang ingin disukai atau diberi ‘like’ di media sosial?

1. Bentuk eksistensi atau pengakuan kehadiran kita

Bagaimana orang lain bisa mengakui keberadaan seseorang bila tidak mengenalnya. Demikian pula daftar orang dalam lingkup maya kita adalah orang yang kita kenal di dunia maya. Bisa jadi kita mengenal kehadiran orang tersebut dalam dunia maya hanya karena pemberian tombol ‘like’ tetapi dalam hidup nyata belum tentu kenal baik. Artinya pemberian tombol ‘like’ untuk menunjukkan keberadaan diri si pembuat status. Jika anda pasang status atau foto, namun tak ada satu pun yang merespon anda, bagaimana perasaan anda? Anda mungkin merasa terabaikan.

2. Memberikan tombol ‘like’ ternyata mampu meningkatkan self esteem.

Apa iya? Segitu dahsyatnya pemberian tombol like sampai meningkatkan self esteem. Pertama-tama mari telaah dulu apa itu self esteem. Self esteem adalah sejauhmana seorang pribadi mengevaluasi dirinya secara subjektif tentunya, bisa positif maupun negatif sesuai pemikiran, perasaan dan opininya sendiri. Siapa sangka ya, mereka yang mendapatkan tombol ‘disukai’ dari orang lain bisa berpengaruh pada pendapat tentang dirinya. Hal ini sebagian besar terjadi pada remaja. Misal, setelah memotong rambut, si remaja pasang foto terbaru. Ada yang tidak suka dan ada yang memberikan komentar buruk dengan model rambut. Siapa sangka si remaja bisa menilai dirinya hanya dari respon seperti itu. Jika tak percaya, lakukan eksperimen sendiri pada media sosial anda! Baca di sini.

3. Setelah diberi ‘like’ ternyata memberikan rasa aman dan nyaman loh.

Seperti kasus pada teman saya yang gelisah saat bekerja, rupanya dia ingin ada yang memberikan respon terutama pemberian ‘like’ pada postingannya. Jika tidak ada yang memberikan respon, apa yang terjadi setelahnya? Dia, rekan kerja yang sedang kecanduan media sosial, bisa saja merasa tak bergairah. Malahan saya melihat dia menjadi tak fokus bekerja karena kerap kali melihat layar hape dan berharap pada tanda notifikasi. Setelah banyak yang merespon status atau postingannya, dia bisa jadi ceria luar biasa. Rasa aman dan nyaman ini ternyata dapat dengan mudah diberikan hanya karena pemberikan ‘like’ pada postingan orang lain.

4. Karena ini adalah bagian dari kecenderungan kekinian gaya hidup mereka yang punya media sosial.

Begitulah bagi mereka yang memiliki media sosial, memberikan respon sebanyak-banyaknya dan berharap orang lain akan membalas hal yang sama pula. Saya sudah mencoba eksperimen ini. Namun tidak bisa digeneralisasikan pada semua orang. Tak semua orang terlibat di media sosial, termasuk beberapa orang yang saya kenal baik. Mereka yang tak memiliki media sosial bisa jadi punya kecenderungan yang berbeda. Saat ini, pemberian ‘like’ menjadi alasan kekinian, ke depan entah inovasi apa lagi yang muncul.

Kesimpulan

Tak semua orang di dunia ini punya media sosial. Media sosial bukan hanya menjadi penghubung dengan orang lain, namun memberikan dampak psikologis dengan kemunculan pemberian respon termasuk ‘like.’ Setiap orang yang punya media sosial bisa jadi punya pendapat berbeda tentang ini, namun pastinya mereka mengalami hal yang sama karena ‘disukai’ atas postingan mereka. Perasaan apa yang sama? Perasaan senang.

Semoga kita bisa lebih bijak terhadap penggunaan media sosial!

17 thoughts on “5 Alasan Berikut Menjelaskan Mengapa Kita Ingin “Disukai” Di Media Sosial

  1. Saya juga punya teman kuliah pinjam hp saya demi dapat like seluruh postingannya sendiri. Wah ternyata kecenderungan untuk dilike juga menyangkut psikologis. Baru tahu nih. Terima kasih mbak ilmunya. 😀

    Liked by 1 person

    1. Hallo,

      Ilmunya dari hasil riset bahwa memang demikian adanya. Saya coba praktikkan, alami dan amati bahwa memang begitu kenyataannya jika berlebihan penggunaan media sosial.😊

      Salam,
      Anna

      Like

  2. Menyeramkan. Dan, saya pernah mengalami hal serupa. Setelah baca postingan ini saya harus tobat dan mandi bunga tujuh rupa.

    Sebelumnya, saya tidak pernah peduli. Tetapi, gara-gara ada teman yang selalu membahas like, yang pada mulanya ngiri sama saya. Lalu, tiba-tiba likenya jauh lebih banyak, saya malah jadi iri, jadi peduli pada like.

    Liked by 2 people

  3. Saya termasuk yang jarang bahkan sampai sekarang awam dengan medsos. Pling cuma punya facebook untuk bergabung di grup-grup. Belum pernah berharap like atau tahu rasa,senang karena like. Rasanya biasa saja. Mungkin karena saya orangnya tidak terlalu peduli dengan likenya. 😀

    Liked by 1 person

  4. topik yang sama yang sedang saya bahas dengan kawan saya. saya baca sebuah penelitian bahwa ketika kita posting sesuatu di sosmed dan kita merasa senang karena banyak likes yang didapat, maka hormon endorfin dalam tubuh juga meningkat, yang berarti, kita merasa bahagia. tapi perasaan, seperti yang kita tau, itu kan hal yang temporer alias sementara. sekedar perasaan aja. andai kita posting sesuatu tapi diacuhkan saja oleh kawan-kawan di timeline sosmed, minim comment dan minim likes? gimana perasaan kita? nggak bahagia sepertinya, dan kadar endorfin juga menurun. dan kita nggak merasa bahagia. ironis, haha. belom lagi gejala FOMO (fear of missing out), dimana kiat selalu ngerasa tertinggal dari dunia kalo hidup tanpa sosmed. kalo saya sendiri sih, selain blog ini, sosmed yang saya pakai Facebook dan Instagram. saya sendiri sudah beberapa hari ini deactive IG, amit-amit deh godaannya. liat shortcut aplikasinya langsung pengen buka, jadi sekalian aja saya uninstall. kalo FB, sudah setaun ini deactivated account. hasilnya? i’m feeling alive without FB. that’s why i wanna do same thing to IG. saya sendiri sampe taruhan sama kawan, berapa lama saya bakal tahan nggak buka IG, haha. tapi seandainya nggak ada urusan kerjaan/kantor/grup yang butuh Whatsapp sebagai wadah chatting, kayanya saya bakal balik lagi pake nokia 3310. bring back the good old time, for the sake of nostalgia. maap jadi kepanjangan ngetik, pas aja nemu topik yang sama yang sedang dibahas, hehe.

    Liked by 1 person

    1. Ya, dopamin seperti yang saya jelaskan di atas yang berbahasa Inggris. Terimakasih pendapat dan pengalamannya. Begitulah😁
      Sebelum menulis di atas, saya buat eksperimen sederhana ternyata memang benar. Namun ini masih kualitatif dan subyektif sifatnya.

      Liked by 1 person

  5. Human beings are rare creatures and when social networking on horizon… could be stupids. I prefer encounters with folks more than networking, lots of populations is a modern drug and symptom could be it.
    Enjoy my friend and social network use with moderation and beware in order to fantasies …
    😘😘😘😘👍👍👍👍🙈🙈🙈🙈

    Liked by 1 person

Leave a comment