CERPEN (38): Mengasah Kesempatan menjadi Impian

Ini adalah reblog dari artikel yang sama dan tayang pada 2 Desember 2014.

________________________
Aku sengaja membawa ibu ke vila terpencil yang jauh dari kebisingan kota agar bisa menikmati ketenangan bersama. Aku mengundang ibu menikmati secangkir teh dan kue buatannya. Kami duduk di balkon arah taman sambil berbincang hangat mengenai berbagai topik.

Kadang aku begitu merindukan saat kebersamaan dengannya sebagai seorang gadis kecil, aku lupa bahwa kini aku sudah menikah.

Sejak aku bekerja, aku sering melupakan kesempatan duduk bersama ibu sambil mendengarkan semua cerita-ceritanya. Maklum, aku masih sibuk terbang ke sana kemari mencari pengalaman, sedangkan ibu sudah terlebih dulu banyak makan asam garam yang jadi pengalaman.

Jika dulu aku mendengarkan ibu blablabla tentang berbagai nasihat yang diberikannya, kini aku yang blablabla dan ibu hanya mendengarnya. Seperti sekarang, aku duduk bersamanya di sore hari memandang matahari terbenam di balik gunung di hadapan kami.

Oh ibu, aku merindukanmu, batinku saat itu sambil menikmati tegukan teh manis buatannya.

“Apa yang sedang kau hadapi adalah kesempatan, Nak. Jadi kau harus ambil kesempatan itu. Ingat kesempatan hanya datang satu kali,” seru ibu memecah kebisuanku menikmati teh buatannya.

Aku hanya berpikir apakah aku bisa meraih impianku kembali, Bu. Ibu tahu bahwa kadang kesempatan itu membawa kesulitan.”

Orang yang melihat setiap kesempatan adalah kesulitan, merupakan orang yang pesimis. Tetapi mereka yang optimis mampu melihat setiap kesulitan sebagai kesempatan. Awalnya memang sulit tetapi ibu yakin, kau bisa anakku,” kata ibu sekali lagi meyakinkan aku.

Ibu tahu aku suka bingung dalam mengambil keputusan. Kadang aku berpikir ibu lebih optimis dibandingkan aku yang mengenyam pendidikan yang lebih baik darinya. Jadi sebenarnya optimis dan pesimis tidak ditentukan oleh pendidikan, tapi kesempatan yang diambil dalam hidup.

Aku benar-benar menikmati suasana senja saat itu, sambil memperhatikan matahari yang tenggelam di hadapan kami berdua. Ya, kesempatan adalah cara untuk mengasah impian.

“Jika Penebang kayu mengasah kapaknya, atau Pemanah mengasah busurnya untuk mendapatkan buruannya. Penulis harus mengasah pensil mereka agar lebih tajam untuk menghasilkan tulisan. Semua itu perlu diasah. Untuk mendapatkan apa yang kau impikan, kau perlu mengasah setiap kesempatan. Tak ada yang sulit bila kau terus memikirkannya.”

Kali ini aku mendengarkan ibu berbicara sambil menikmati gigitan demi gigitan kue coklat buatannya. Ia berencana untuk membuatkan lebih banyak lagi untuk tamu-tamu yang akan datang saat natal tiba.

Aku hanya takut bu. Takut kalau aku tidak bisa menjalankan kesempatan itu” seruku.

Oh ya, aku rasa ibu perlu menambahkan sedikit rum lagi dalam kue coklat ini. Aku suka kue coklat buatan ibu” sahutku sekali lagi menimpali ocehan ibu dan memberi saran untuk kue coklat yang dibuatkannya.

Sebenarnya saat akan membuatkan kue coklat ini, ibu takut kalau kau tidak suka. Biasanya kau tak suka ngemil, beda dengan kakak dan adikmu yang lain. Eh, ternyata kau suka kue coklat ini. Ketakutan seharusnya membuatmu maju, bukan berhenti. Ketakutan bukan menahanmu tetapi mendorongmu untuk melakukan. Apa yang sesungguhnya kita takutkan adalah ketakutan itu sendiri. Takut gagal. Takut tidak diterima. Jika kau melakukan dan mendobrak rasa takutmu, bukan tidak mungkin alam akan menghadiakan yang terbaik bagi mereka yang telah berjuang.”

Aku pun terdiam sesaat merenungkan ucapan ibu, apakah sebenarnya yang aku takuti? Terkadang ketakutan itu membunuh keberanian yang selama ini telah tumbuh dalam diriku.

Ibu meraih kedua tanganku dan menggegamnya erat. Ia pun menatap wajahku dan memegang wajahku. Oh ibu, wajahmu meneduhkan. Batinku sekali lagi.

Jika kau hanya membayangkan maka kau akan mendapatkan ketakutan. Tetapi jika kau menjalankan maka kau akan mendapatkan impian. Jadi sebenarnya tak sesulit seperti yang kau bayangkan, anakku” kata ibu. Senyum ibu terlukis dari guratan wajahnya saat ia meyakinkan aku.

Aku pun memeluknya.

Terimakasih ibu.”

Aku pun merasa tenang sesaat.

Dengar Nak! Seperti cerita ibu tadi tentang Penebang, Pemanah dan Penulis. Mereka harus mengasahnya agar mendapatkan apa yang mereka impikan. Kini asahlah hidupmu dengan kesempatan ini agar kau mendapatkan apa yang kau impikan.”

* cerita ini hanya fiksi.

2 thoughts on “CERPEN (38): Mengasah Kesempatan menjadi Impian

Leave a comment